DARI seorang sahabat yang pada masa itu masih Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara, Romo Dr. Simon Petrus Lily Tjahjadi, saya memperoleh hadiah sebuah buku tergolong paling tebal yang pernah saya baca di samping War And Peace (Tolstoy), Don Quixote (Cervantes), Les Miserables (Hugo), And Quiet Flows The Don (Shokolov), The History of The Rise and Decline of The Roman Empire (Gibbon) atau Kuasa Ramalan (Diponegoro).
Buku tersebut berjudul “Karya Lengkap Driyarkara“ yang disunting bersama oleh Sudiarja, Subanar, Sunardi dan Sarkim.
Homo Homini Socius
Saripati pemikiran Romo Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ adalah “manusia adalah kawan bagi sesama manusia” alias homo homini socius.
Pada hakikatnya tokoh pemikir Indonesia ini mengritik, melawan, mengoreksi serta memperbaiki paham homo homini lupus alias “manusia adalah serigala bagi sesamanya” yang lebih membenarkan kebencian dan kekerasan manusia terhadap sesama manusia.
Beda dari para pemikir Barat yang lebih menerawangi das Sein sebagai kenyataan kehidupan maka Driyakara sebagai seorang pemikir Timur lebih berupaya mengalihkan arah pandang ke das Sollen sebagai yang seharusnya dicapai manusia dalam menempuh perjalanan hidup.
Di sisi lain, Driyarkara mirip Sokrates cenderung selalu bertanya akibat niscaya meragukan pemikiran diri sendiri.
Driyarkara sadar bahwa manusia tidak sempurna maka makna peradaban justru terletak pada upaya berkelanjutan manusia untuk tanpa henti, terus-menerus, secara perpetuum mobile selalu bergerak demi berupaya mendekati kesempurnaan.
Non-Politis
Catatan harian yang ditulis sejak 1 Januari1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah lepas dari persoalan aktual yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.
Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang Driyarkara memperkenalkan pemikirannya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke perenungan filosofis.
Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan.
Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa dan pelajar untuk demonstrasi. Maka meski pemikiran homo homini socius Driyarkara non-politis murni sosial kemanusiaan namun selalu ada saja pihak yang keliru menafsirkannya sebagai politis.
Warisan Pemikiran
Hampir semua karya Driyarkara berupa naskah pendek berisi komentar tentang persoalan-persoalan aktual pada zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.
Dengan metode fenomenologi eksistensial Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia.
Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos lewat jalan pintas.
Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai cinta kebijaksanaan, tetapi juga sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.
Driyarkara membawa pemikiran filsafat modern serta memberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Kini nama Prof. Dr. Nikolaus Driyarkara SJ telah diabadikan sebagai nama perguruan tinggi ilmu filsafat yang dirintis bersama Prof. Dr. Fuad Hassan dan Prof. Dr. Slamet Iman Santosa yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara.
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan yang juga berupaya mempelajari pemikiran para pemikir Indonesia.
KOMENTAR ANDA