PENERIMA anugrah Nobel untuk kesusasteraan tahun 1946, Herman Hesse adalah seorang novelis dan penyair Jerman yang kemudian hijrah ke Swiss akibat tidak tahan menghadapi kebangkitan angkara murka Nazisme di tanah kelahirannya sendiri.
Mahakarya
Mahakarya Herman Hesse cukup berlimpah antara lain Peter Camenzind, Gertrud, Rosshalde, Demian, Steppenwolf, Narziss und Goldmund, Glassperlenspiel. Namun saya pribadi paling tertarik pada Siddharta yang ditulis setelah kunjungan Hesse ke India.
Gara-gara novel Siddharta Hesse, saya sampai bersusah-payah untuk berkunjung ke Lumbini di Nepal demi menelusuri petilasan Kapilavastu yang telah disepakati oleh para ilmuwan sejarah sebagai bumi kelahiran Siddharta Gautama.
Lebenskrankheit
Dalam novel Siddharta, Hermann Hesse mengungkapkan pengalaman sebagai totalitas peristiwa kesadaran dari kehidupan manusia.
Perjalanan Siddharta mencari makna kehidupan menunjukkan bahwa pemahaman diperoleh bukan melalui metode intelektual apalagi akademis atau melalui penyelupan diri ke dalam kesenangan duniawi namun melalui pengalaman lahir-batin yang di dalam falsafah Jawa disebut sebagai ngelakoni.
Obsesi utama Hesse dalam menulis Siddharta adalah untuk menyembuhkan "penyakit akibat hidup" (Lebenskrankheit) dengan membenamkan diri ke dalam filsafat India seperti yang tersirat dan tersurat di dalam Upanisdhad dan Bhagavad Gita.
Pada hakikatnya Hesse melanjutkan keperhatian Schopenhauer terhadap pemikiran Asia.
Transendental
Alasan mengapa bagian kedua buku Siddharta relatif lama ditulis adalah bahwa Hesse "belum mengalami kondisi persatuan transendental yang dicita-citakan Siddhartha".
Dalam upaya untuk melakukannya, Hesse hidup sebagai semi- pertapa virtual demi benar-benar membenamkan diri ke dalam ajaran Hindu dan Buddha. Niatnya adalah untuk mencapai 'kelengkapan' yang, dalam novel, adalah lencana pembedaan Buddha.
"Novel Siddharta ini disusun pada tiga tahap kehidupan tradisional untuk laki-laki Hindu (siswa brahmacharin ), rumah tangga (grihastha) dan pertapa/pengucilan (vanaprastha).
Bagian Satu mendalami empat kebenaran mulia Buddha serta Bagian Dua menelusurai delapan-lipat jalur yang membentuk dua belas bab dalam Siddharta.
Hesse sempat mengomentari diri sendiri "Siddhartha [saya] pada akhirnya tidak mempelajari kebijaksanaan sejati dari guru mana pun, tetapi dari sungai yang mengaum dengan cara alami dan dari orang tua yang baik hati yang selalu tersenyum dan keheningan seorang suci".
Dalam sebuah ceramah tentang Siddhartha, Hesse menyatakan "Jalan Buddha menuju keselamatan sering dikritik dan diragukan, karena dianggap sepenuhnya didasarkan pada kognisi.
Benar, tetapi itu bukan hanya kognisi intelektual, bukan hanya belajar dan mengetahui, tetapi pengalaman spiritual yang dapat diperoleh hanya melalui disiplin ketat dalam kehidupan tanpa pamrih melekatan".
Dialektika Interior
Siddhartha menggambarkan dialektika interior jiwa-raga Hesse. Semua kutub yang kontras dalam hidup tergores dengan tajam: keberangkatan yang gelisah dan pencarian keheningan di rumah; keanekaragaman pengalaman dan harmoni dari semangat pemersatu ketegaran dogma dan kecemasan kebebasan.
Siddharta menunjukkan bagaimana sambil mencampurkan genre religius dari legenda dengan novel modern, Hesse berupaya berdamai dengan efek modernisasi bermata dua seperti individualisme, pluralisme, kapitalisme, komunisme serta pragmatisme.
Novel Siddharta popular di kalangan generasi muda Eropa dan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II sehingga merupakan pemicu gerakan spiritualisme Timur pada masyarakat Barat yang berupaya menghayati Hinduisme, Buddhisme, Zen, Taoisme, Konfusianisme, Kejawen.
Adalah Siddharta Hesse yang mempengaruhi The Beatles sampai Richard Geere berupaya mendalami kebudayaan Timur. (F)
Penulis adalah pembelajar pemikiran para tokoh pemikir Barat, Timur, Utara dan Selatan.
KOMENTAR ANDA