post image
Foto: Net
KOMENTAR

Kekisruhan mengenai laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia memasuki babak baru. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan anak perusahaan Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, membatalkan kerjasama dengan perusahaan startup penyedia jaringan wifi berkecepatan tinggi, Mahata Aero Teknologi.

Ini adalah pangkal dari persoalan sehingga laporan keuangan itu dituduh sebagai hasil rekaya.

Di dalam RUPST bulan April lalu, dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, masing-masing dari Trans Airways dan Finegold Resources Ltd, menolak menandatangani laporan keuangan 2018 itu.

Mereka menganggap tidak sepantasnya potensi keuntungan dari kerjasama Citilink dengan Mahata dicatatkan sebagai pendapatan.

Dari kerjasama dengan Mahata itu, Garuda mencatat pendapatan sebesar 239,9 juta dolar AS. Di antara dari keuntungan itu sebesar 28 juta dolar AS dari bagi yang didapat dalam kerjasama dengan Sriwijaya Air.

"BPK meminta untuk membatalkan kerja sama PT Citilink dengan PT Mahata Aero Teknologi," ujar anggota BPK Acsanul Qosasi kepada media, kemarin (Rabu, 10/7).

Dia menambahkan, rekomendasi BPK bersifat mengikat karena merupakan mandat undang-undang.

Rekomendasi BPK ini dipandang gurubesar ekonomi Universitas Indonesia (UI) sebagai sesuatu yang aneh.

Dalam pesannya yang beredar di jejaring media sosial, dan juga disebarkan oleh pihak-pihak di Garuda, Rhenald Kasali mengisyaratkan bahwa rekomendasi BPK itu adalah wujud dari ketidakmampuan menangkap model baru dunia usaha yang bersifat MO, mobilisasi dan orkestrasi.

“Ini era MO. Artinya orang pakai tagar dengan tujuan mobilisasi dan orkestrasi. Sebab di era baru, #MO membuat bisnis harus hidup dari cara mobilisasi dan orkestrasi ekosistem pakai data,” tulis Rhenald Kasali dalam pesan itu.

Dia membandingkan dengan aplikasi yang sudah masuk dalam kategori super, seperti Google, Grab, Traveloka, Tokopedia, yang sedang mengalami cash rich.

Di balik perusahaan-perusahaan itu, sambungnya, berkumpul orang-orang progresif yang tahu bagaimana memanjakan penumpang dan tahu uangnya ada dimana. Mereka tidak se-rigid orang-orang lama yang sok tahu.

Gojek, misalnya, membutuhkan empat tahun untuk mendapatkan lebih dari 100 juta partisipan yang mengunduh appsnya dan menjadikan dirinya  super apps.

Sementara gabungan Garuda-Citilink dan Sriwijaya mempunyai 65 juta penumpang aktif. Ini belum ditambah dengan potensi yang dimiliki Angkasa Pura 1 dan 2, yang bisa menyumbang sekitar 100 juta audiences.

“Paling sulit memang meyakinkan bisnis cara baru pada orang-orang tua yang pernah sukses dengan cara lama. Padahal  cara lama sudah obsolete digerus teknologi dan data. Tetapi mereka selalu merasa paling benar,” demikian Rhenald Kasali.


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews