Kebijakan penurunan tarif berjadwal dalam negeri untuk penerbangan ekonomi dinilai tidak realistis dan menyulitkan kondisi keuangan maskapai. Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM106/2019.
Demikian dikatakan pengamat penerbangan Alvin Lie usai sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu siang (17/7).
“Jadwal tertentu ini tidak akan suistainable. Semua airlines rugi. Tanpa ini pun sudah rugi apalagi ditekan dengan ini. Makanya Lion Air berani menolak, kan? Karena mereka rugi, nggak kuat, tidak sustainable, tidak realistis,” ujar Alvin seperti dikutip dari Kantor Berita RMOL.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini juga mengatakan, ada hal lain yang menyulitkan keuangan maskapai, yakni biaya retribusi bandara.
Hal ini tidak tidak pernah dibahas sehingga publik tidak mengetahui dampaknya terhadap harga tiket penerbangan.
“Misal, kita tebang naik Garuda dari Terminal 3. Uang sebesar Rp 130 ribu tidak masuk Garuda. Itu untuk bayar retribusi bandara,” kata Alvin lagi.
Alvin meminta pemerintah meninjau kembali biaya retribusi bandara yang sudah lima tahun tidak ditinjau.
Hal lain yang disampaikan Alvin adalah sarannya agar pemerintah lebih fokus pada kebutuhan pokok transportasi udara. Adapun rambu-rambu yang dibuat pemerintah sebisa mungkin tidak membatasi ruang gerak pelaku usaha dalam kompetisi.
“Semakin diatur semakin tidak efisien. Termasuk soal tarif batas atas (TBA). Masih perlu atau tidak? Kalau masih bisa jual, ngapain dibatasi. Fokus pemerintah kan mengawal adanya kedisiplinan dalam perawatan,” tandasnya.
KOMENTAR ANDA