SEBENARNYA banyak media, termasuk media di Amerika sendiri, yang membahas berbagai kebijakan yang diambil sang presiden selama ini, sarat dengan motivasi dan kepentingan personal baik terkait ekonomi maupun politik.
Akan tetapi baru kali ini, motivasi di balik kebijakan luar negrinya menimbulkan gempa bumi politik baik di dalam negeri Amerika maupun di level internasional.
Ceritanya berawal dari memo yang dibuat oleh Dutabesar Inggris di Washington Kim Darroch, yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson. Berdasarkan memo ini Johnson kemudian meminta Amerika tidak menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action Partnership (JCPOA), saat ia mengunjungi Washington tahun 2018.
Memo ini mengguncangkan jagat politik saat dibocorkan oleh media Inggris Daily Mail pada Ahad (14/7). Hal ini membuat Trump ibarat kebakaran jenggot, lalu menyerang Darroch melalui akun Twitter-nya. Kemarahan Trump kepada Inggris membuat diplomat Inggris ini angkat kaki dan harus meninggalkan kursinya sebagai dutabesar di Washington DC.
Motivasi personal Trump untuk keluar dari kesepakatan JCPOA disebabkan oleh konsistensinya untuk menghapus jejak pendahulunya Barack Obama. Apalagi banyak pengamat memuji JCPOA sebagai salah satu perjanjian internasional terbaik yang pernah dibuat oleh Pemerintah Amerika. Bahkan para diplomat Eropa menempatkan JCPOA sebagai prestasi diplomatik terbaik abad-21.
Apakah masalah ini timbul karena Obama berasal dari partai Politik yang berbeda yakni Demokrat, sementara Trump berasal dari Republik, atau lebih dikarenakan oleh kecemburuan personal, tentu perlu waktu untuk menyimpulkannya.
Akibat dari motivasi seperti ini, setelah keputusan keluar dari JCPOA diambil, Amerika tidak tahu langkah apa yang akan diambilnya. Masalah yang dihadapi oleh Amerika semakin pelik, disebabkan gaya diplomasi yang dimainkan oleh Trump adalah memberikan tekanan maksimal kepada lawannya sehingga terpojok, lalu mendiktekan formula perjanjian baru sebagai syarat untuk kompromi. Asumsinya lawan akan tunduk dan patuh, mengingat kekuatan yang dimiliki Amerika saat ini, baik dalam kontek politik, ekonomi, maupun militer.
Ternyata asumsi Trump tidak sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya Iran bukan saja tidak mau tunduk, akan tetapi juga melawan. Setelah mengganggu lawan-lawannya melalui proksinya baik dengan menyerang tanker maupun instalasi minyak, Iran menembak drone mata-mata Amerika yang mendekati wilayahnya.
Kini Iran balik menekan Amerika, dengan cara memaksanya untuk kembali pada kesepakatan JCPOA yang ditandatangani oleh pemerintahan Obama tahun 2015, sebagai syarat perdamaian.
Selanjutnya Iran juga memaksa sekutu Amerika di Eropa seperti: Inggris, Perancis, dan Jerman untuk tidak tunduk dengan sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Washington, sebagai imbalan ketundukan Teheran kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk tidak melakukan pengayaan Uranium sampai pada level untuk membuat senjata nuklir, sebagai bagian dari perjanjian JCPOA.
Kini Iran mulai meningkatkan pengayaan Uranium sampai level 4,5 persen, melebihi batas yang disepakati sebesar 3,7 persen sebagaimana diatur dalam perjanjian JCPOA.
Menurut jurubicara Organisasi Energi Atom Iran Behruz Kamalvandi, negaranya akan terus meningkatkan pengayaan Uranium sampai 20 persen bahkan lebih, sebagimana sebelum perjanjian JCPOA ditandatangani. Pada level ini Iran bisa membuat bom nuklir yang ditakutkan negara-negara Barat dan Israel.
Ketua Kebijakan Luar Negri Eropa (UE) Federica Mogherini menyatakan bahwa anggota JCPOA selain Amerika menilai pelanggaran yang dilakukan Iran sampai saat ini tidak signifikan. Karena itu UE memilih jalur diplomatik untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan kata lain, sekutu Amerika di Eropa tidak sepenuhnya mau mengikuti keinginan Trump.
Pengamat hubungan luar negri Hoppi Youn menyebut gaya Trump ini dengan istilah 'madman' atau 'orang gila', suatu teknis diplomasi yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Richard Nixon saat menghadapi pemimpin China Mao Zedong.
Gaya diplomasi yang berisiko tinggi ini tidak hanya dilakukan terhadap Iran, akan tetapi juga terhadap Korea Utara dan China. Jika kepada Korut terkait dengan kemampuan rudal dan nuklirnya, sementara kepada China terkait dengan kemampuannya di bidang ekonomi.
Sampai saat ini ternyata gaya diplomasi seperti ini tidak berhasil, akan tetapi jangan buru-mengambil kesimpulan karena games masih berlangsung.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
KOMENTAR ANDA