AMERIKA sebagai sebuah negara imigran dengan penduduk asli suku Indian. Sejak bangsa-bangsa asal Eropa menginjakkan kakinya di wilayah ini, perang di antara mereka terus terjadi, sampai terbentuknya negara yang kini dikenal dengan nama Amerika Serikat pada 4 Juli 1776.
Presiden Amerika saat ini Donald Trump leluhurnya berasal dari German. Ibunya Mary Anne MacLeod berasal dari Skotlandia. Dengan demikian, para penguasa Gedung Putih dan mayoritas warga Amerika saat ini adalah pendatang, karena itu bangsa Amerika dikategorikan sebagai bangsa imigran.
Sebelum perang Dunia Kedua, negara-negara Eropa sangat merendahkan Amerika. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan yang dialami Inggris, Perancis, German, Italia, Spanyol, dan Portugis dalam sain, teknologi, militer, dan ekonomi, yang puncaknya pada ekspansi bangsa-bangsa ini keluar wilayahnya yang dikenal dengan era penjajahan.
Amerika sebagai sebuah negara tumbuh dan berkembang, bahkan kemudian melampaui negara-negara Eropa. Hal ini terlihat pada saat memasuki perang Dunia Kedua, Amerika bisa dikatakan sebagai motor sekaligus pemimpinnya.
Karena itu tatanan dunia pasca perang Dunia Kedua, tidak bisa dilepaskan dari sekenario yang dibangun oleh Amerika dengan simbol Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang diletakkan di kota New York.
Banyak ilmuwan sosial atau antropologi yang berpendapat bahwa heterogenitas yang ada pada suatu masyarakat, menjadi rahasia keunggulannya dibanding masyarakat yang homogen.
Salah satunya ilmuwan yang cukup menonjol saat ini adalah Arjun Appadurai, seorang professor bidang sosial dan antropologi Amerika yang berasal dari India. Karena itu, jika Amerika saat ini menerapkan kebijakkan anti imigran, berarti ia bergerak ke arah yang berlawanan yang membuatnya mencapai kemajuan saat ini.
Sejak massa kampanyenya Presiden Donald Trump yang menghuni Gedung Putih saat ini, telah menggunakan isu anti imigran untuk mendapatkan dukungan. Lebih dari itu ia juga mengembangkan pandangan rasial secara terbuka, dengan memandang kaum kulit putih lebih tinggi dibanding kulit hitam dan kulit berwarna. Ia juga kerap kali mendengungkan kalimat-kalimat Islamophobia.
Setelah berkuasa, berbagai pandangan politiknya ini ditindaklanjuti dalam berbagai bentuk kebijakan negara Amerika baik di dalam negri maupun kebijakan luar negri. Meskipun menuai kontroversi dan penentangan yang cukup luas di dalam negri, Presiden Trump jalan terus.
Kini memasuki massa kampanye untuk pemelihan Presiden Amerika periode keduanya, Trump telah melangkah lebih jauh lagi. Apa yang dilakukan sang Presiden mendapat perlawanan terbaru dari empat anggota Kongres perempuan berkulit hitam dan berkulit berwarna. Keempat perempuan ini adalah: Ilhan Omar yang mewakili Minnesota, Alexandria Ocasio-Cortez mewakili New York, Rashida Tlaib mewakili Michigan, dan Ayyana Pressley mewakili Michigan. Dua dari empat perempuan ini beragama Islam.
Merespon perlawanan ini Donald Trump bereaksi dengan kasar, baik di depan pendukungnya maupun lewat akun Twitternya, dengan menyatakan agar keempat perempuan tersebut kembali ke asalnya. Maksudnya tentu ke negri asalnya.
Tampaknya sang Presiden lupa bahwa dirinya sendiri juga keturunan imigran. Sebagai politisi pragmatis yang fokus dengan target memenangkan pilpres, Trump dan para penasihatnya tampaknya mengalami rabun ayam. Ia mengabaikan kepentingan negaranya dalam jangka panjang demi kepentingan kelompoknya dalam jangka pendek.
Di luar negri bukan hanya Rusia, Kuba, Venezuela, dan Korea Utara yang menjadi musuh-musuh tradisional Amerika yang terus melawannya, kini China, India, Iran, dan Turki menjadi negara-negara baru yang berani melawan Amerika.
Jika sebelumnya sejumlah negara bersebrangan dengan Amerika disebabkan faktor ideologis, negara-negara baru yang menentang Amerika disebabkan kecerobohan dan kesalahan yang dilakukan pengambil kebijakan di Gedung Putih. Apakah hal ini merupakan tanda-tanda kemunduran Amerika ? Wallahua'lam.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
KOMENTAR ANDA