Garuda Indonesia telah memperbaiki laporan keuangan tahun 2018. Dalam restatement yang disampaikan Jumat kemarin (26/7) maskapai nasional itu mengakui kerugiaan sepanjang 2018 sebesar Rp 2,4 triliun.
Sementara dalam laporan keuangan yang disampaikan di arena Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di bulan April lalu, Garuda Indonesia mengklaim laba sepanjang 2018 sebesar Rp 70 miliar.
Dua komisaris menolak menandatangani laporan keuangan yang disampaikan di RUPST. Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menemukan rekayasa dimaksud dan meminta agar Garuda menyusun ulang laporan keuangan.
Lantas apa dampak hukum dari rekayasa pencatatan keuangan itu?
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu mengatakan, kasus laporan keuangan ini sangat merugikan Garuda Indonesia. Kepercayaan publik pada Garuda Indonesia akan menurun drastis.
“Prinsip dalam pengelolaan BUMN adalah clear and clean, terbuka, transparan, dan juga jujur,” ujarnya usai menjadi pembicara dalam sebuah dialog di Jakarta Sabtu pagi (27/7).
Namun di sisi lain, Masinton mengatakan dirinya belum mempelajari konsekuensi hukum dari rekayasa keuangan ini.
“Tapi secara akuntanbilitas dari laporan seperti itu yang diragukan berdampak pada kepercayaan publi terhadap Garuda,” ujarnya usai menjadi pembicara dalam talkshow Polemik bertema “Utak-Atik Manuver Elit” di Jalan KH. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
KOMENTAR ANDA