post image
KOMENTAR

Harga tiket pesawat yang mahal belakangan ini  digambarkan sebagai puncak gunung es dari berbagai persoalan yang terjadi di bawahnya.

Dengan demikian, yang menjadi polemik saat ini bukan hanya tentang harga tiket, melainkan juga tentang ketidaksiapan industri penerbangan menyikapi peningkatan jumlah pengguna mota trasportasi udara akhir-akhir ini.

Demikian antara lain disampaikan pengamat penerbangan, Chappy Hakim, dalam Seminar Nasional “Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis, dan Investasi” yang diselenggarakan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Jumat (9/8).

"Semua menikmati kenaikan jumlah penumpang, tetapi institusi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan infrastruktur dan penyiapan SDM lalai," kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) itu.

Kenaikan jumlah penumpang memang terbilang drastis. Akan tetapi, perrtumbuhan penumpang sebanyak 10 sampai 15 persen pertahun itu justru tak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai.

"Di situlah terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Dia tidak imbangi dengan bandara, para pilot, dan teknisi dan sebagainya," sambungnya.

Soal lain yang muncul dalam polemik ini adalah pencarian solusi tanpa investigasi. Chappy mencontohkan di akhir tahun 2015 yang terjadi delay selama 10 sampai 12 jam di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu tak tertangani secara investigasi dan audit.

"Solusinya saat itu pindah saja ke Bandara Halim Perdanakusuma yang “nganggur”. Judulnya cantik sekali: optimalisasi Bandara Halim. Ini kekeliruan terbesar karena mengambil solusi tanpa investigasi terlebih dahulu," paparnya.

Selain itu, perencanaan yang tidak terpadu menjadi bagian dari polemik dalam dunia penerbangan. Seperti halnya Bandara Soekarno-Hatta yang saat ini kurang lebih melayani 1.000 take-off dan landing. Padahal ada Bandara Kertajati sebagai bandara internasional yang hanya take-off dan landing dua pesawat, bahkan delay.

"Karena kita belum memiliki long term strategy, master plan atau blue print dunia penerbangan secara keseluruhan," kata Chappy lagi.

Wajar Mahal

Terkait dengan harga tiket yang dinilai kemahalan oleh masyarakat, Chappy Hakim mengatakan, sebenarnya itu adalah hal yang wajar mengingat transportasi udara memang tidak sesederhana moda transportasi laut dan darat.

Menurutnya, yang menjadi persoalan saat ini bukan harga tiket yang tinggi, melainkan kenaikan kenaikan harga tiket yang terkesan tiba-tiba di saat masyarakat  telah terbiasa dengan harga tiket murah.

Dia menambahkan, maskapai menghadapi tantangan dalam memasarkan tiket antara lain dengan memanfaatkan low season maupun peak season.

"Itu menyebabkan berkembangnya orang menjual dengan model macam-macam. Kalau kita beli tiket untuk tahun depan mungkin harganya murah sekali, tetapi pada saat kita tidak berangkat ya hangus," tuturnya.

Contoh lain mengenai perbandingan harga tiket rute domestik yang lebih tinggi dibanding rute luar negeri.

"Misal, beli Jakarta-Kuala Lumpur murah sekali. Kenapa? Karena Jakarta-Kuala Lumpur secara keseluruhan harus mengisi kursi sampai Kuala Lumpur. Maka dijuallah kursi yang kosong  (dengan harga) murah," jelasnya.

Hal lain yang ikut menambah polemik adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tidak menguntungkan.

Dalam hal penerbangan, kata dia, mayoritas pembelian menggunakan mata uang dolar AS. Sementara pendapatan domestik menggunakan mata uang rupiah.

Dengan demikian, apabilaharga avtur naik, begitu juga dolar AS naik, dapat dipastikan harga tiket pesawat turut naik.

"Celakanya kenaikan itu persis pada saat maskapai akan menaikkan tarif menjelang Hari Raya karena demand yang tinggi. Saat sudah akan naik itu didorong lagi dengan harga avtur yang naik dan cost dolar AS yang lain, jadi naiknya lebih tinggi lagi," paparnya.

Ini belum memperhitungkan faktor harga asuransi, biaya maintenance, sumber daya manusia (SDM), pajak hingga jasa pelayanan baik jasa pelayanan airport, service penerbangan, dan lainnya yang rata-rata menggunakan cost di dolar AS.

"Operating cost dalam bentuk dolar AS dan pendapatan dalam bentuk rupiah itu menyebabkan jarak yang jadi jauh sekali. Jadi intinya harga tiket pesawat itu memang mahal dibandingkan moda transportasi lain," tandas Chappy Hakim.


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews