INGGRIS merupakan sekutu Amerika terdekat di kawasan Eropa. Saat berbagai kebijakan Uni Eropa didominasi oleh semangat Jerman dan Perancis yang terus mendorong kemandiriannya, yang tentu berimplikasi terhadap semakin independensinya negara-negara di benua Eropa dari pengaruh Amerika, Inggris memutuskan keluar dari UE yang terkenal dengan istilah Brexit.
Sebenarnya tanda-tanda Inggris setengah hati untuk bergabung dengan UE yang dimotori oleh Jerman dan Perancis sudah nampak sejak organisasi ini berdiri. Hal ini terlihat ketika Inggris mempertahankan mata uangnya Pounsterling, sementara seluruh negara yang tergabung ke dalam UE mengubah mata uangnya menjadi Euro.
Setelah Donald Trump menduduki Gedung Putih, sikap Wahington yang mendukung Brexit dinyatakan secara lebih gamblang, bahkan terkesan provokatif. Tentu ada pesan yang ingin disampaikan Washington, khususnya terhadap negara-negara yang tergabung di dalam UE.
Ketika Donald Trump menyatakan keluar dari kesepakatan JCPOA tahun lalu, diikuti dengan berbagai sangsi yang dijatuhkan terhadap Iran, UE berusaha mencari jalan keluar dengan cara tetap bisa berhubungan bisnis dengan Iran, dan dalam waktu bersamaan tidak melanggar sangsi yang dijatuhkan Washington.
Walaupun secara ekonomi sikap UE ini tidak banyak menolong Teheran, akan tetapi secara politik sikap ini memukul Washington. Dunia memandang UE tidak mendukung keputusan unilateral yang diambil Washington terhadap Teheran, apalgi keputusan sepihak Washington diambil tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan negara-negara penandatangannya yang dikenal dengan G5+1.
Dalam situasi seperti ini, Amerika menggelar pasukannya secara besar-besaran baik pasukan darat, laut, maupun udara di kawasan Teluk. Amerika secara terbuka meminta dukungan negara-negara Eropa, khususnya yang tergabung dalam NATO untuk mengisolasi dan mengintimidasi Iran secara militer.
Perancis, Jerman, dan Spanyol menolak secara terbuka, sementara yang lainnya belum merespon. Hanya Inggris yang memberikan isyarat dukungannya terhadap ajakan Donald Trump ini.
Dalam situasi seperti ini, pasukan marinir Inggris yang berpangkalan di Selat Gibraltar menahan kapal tanker minyak Grace 1 milik Iran, dengan tuduhan kapal tersebut telah melanggar sangsi AS dan UE yang dijatuhkan kepada Suriah.
Bagi Teheran penahanan ini dipandang sebagai sebuah pembajakan, karena itu dua minggu setelah kejadian ini Pasukan Pengawal Revolusi Iran (IRGC) balas menanahan kapal tanker berbendera Inggris Stena Impero yang melewati Selat Hormuz.
Sejak saat ini komunikasi politik antara Teheran dan London, melalui dubesnya masing-masing berlangsung intensif. Dalam waktu bersamaan, komunikasi diplomatik antara London dan Washington juga tidak kalah intensif.
Meskipun berkali-kali Washington menekan Teheran, bahkan diikuti ancaman militer untuk segera melepaskan kapal tanker Inggris yang disandranya. Akan tetapi Teheran tidak meresponnya.
Kini muncul isyarat dari Gibraltar melalui Anthony Dudly yang menjabat sebagai Kepala Pengadilan yang menyatakan bahwa setelah muncul jaminan tertulis dari Teheran, bahwa kapal tanker yang membawa minyak mentah 2,1 juta barrel tidak akan menuju Suriah, sehingga pihaknya tidak punya alasan lagi untuk terus menahannya.
Melihat perkembangan seperti ini, Departemen Kehakiman Amerika buru-buru mengajukan permohonan resmi kepada penguasa Gibraltar untuk memperpanjang penahanan tanker Grace 1.
Menurut wartawan Al Jazeera Andrew Simmons yang melaporkan langsung dari Gibraltar, permohonan untuk memperpanjang penahanan tanker Grace 1 tidak mendapatkan respon. Karena itu tanker milik Iran itu akan segera dibebaskan.
Di sisi lain isyarat yang diberikan Teheran, baru akan membebaskan tanker Stena Impero jika Grace 1 dilepas, walaupun tidak menggunakan istilah tukar-menukar sandra tanker.
Jika semuanya berjalan lancar, dalam arti dua tanker yang ditahan baik oleh Inggris maupun Iran dibebaskan, maka peristiwa ini menjadi tanda-tanda seluruh negara di kawasan Eropa termasuk Inggris tidak lagi mendukung Amerika, atas petualangannya saat ini di kawasan Teluk.
Tanpa dukungan negara-negara Eropa dan NATO, Amerika tentu tidak akan berani melangkah lebih jauh, mengingat Rusia dan China yang merupakan dua super power saingannya cendrung memihak Iran.
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi.
KOMENTAR ANDA