Sejak tahun lalu masyarakat internasional menyaksikan dinamika baru yang tidak terbayangkan sebelumnya di Semenanjung Korea.
Eskalasi ketegangan yang begitu tinggi mengalami perubahan mendadak setelah Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jaein bertemu di Panmunjom, di sisi Korea Selatan, pada akhir April 2018.
Pertemuan kedua pemimpin Korea itu kembali terjadi sebulan kemudian, di tempat yang sama, Joint Security Area (JSA) di Demilitarised Zone yang memisahkan Korut dan Korsel.
Masih di tahun 2018, di bulan September, Moon Jaein meningkatkan suasana persahabatan dengan mengunjungi Pyongyang dan Gunung Paektu yang sakral bagi bangsa Korea.
Dalam kunjungan itu, Moon Jaein juga diberi kesempatan oleh Kim Jong Un untuk berbicara di depan masyarakat Korea Utara saat menghadiri pertunjukan gigantik senam massal di Stadiun 1 Mei.
Moon Jaein menjadi presiden pertama Korea Selatan yang tidak hanya berkunjung ke Pyongyang tetapi juga berbicara langsung di hadapan rakyat Korea Utara.
Menyusul peredaan ketegangan antara kedua Korea, hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat pun mengalami sedikit koreksi.
Kim Jong Un dan Presiden Donald Trump bertemu di Singapura pada bulan Juni 2018. Sejumlah kesepakatan yang intinya berkaitan dengan upaya mengakhiri konflik dan denuklirisasi ditandatangani dalam pertemuan itu.
Pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump berikutnya terjadi di Hanoi, Vietnam, pada Februari 2019. Pertemuan berlangsung hangat dan bersahabat, walaupun kedua pemimpin urung menandatangani kesepakatan yang sudah disiapkan.
Sebuah kejutan terjadi beberapa hari setelah Donald Trump berkunjung ke Osaka, Jepang untuk menghadiri G-20 Summit, akhir Juni 2019. Dari Jepang, Trump terbang ke Seoul dan keesokan harinya bertemu dengan Kim Jong Un di DMZ.
Trump juga menyempatkan diri melangkahkan kaki melintasi perbatasan Korut dan Korsel. Yang juga istimewa, Presiden Korsel Moon Jaein ikut hadir dalam pertemuan itu.
Namun situasi di Semenanjung kembali menegangkan beberapa pekan belakangan ini. Korea Selatan dan Amerika Serikat melanjutkan latihan militer bersama walau dalam skala yang tidak terlalu besar seperti sebelum-sebelumnya.
Di sisi lain, Korea Utara melakukan ujicoba rudal yang ditembakkan ke sisi timur, ke arah Laut Jepang.
Masyarakat internasional kembali mengkhawatirkan situasi di Semenanjung.
Apakah keadaan akan kembali memburuk? Bagaimana dengan sikap aktor-aktor non-Korea dalam lanskap terbaru di Semenanjung? Apakah perang dagang AS dan RRC yang sedang berlangsung akan memberikan pengaruh pada hubungan kedua Korea? Apakah perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan juga akan berdampak pada titik tertentu?
Lalu, bagaimana peran Indonesia yang berkali-kali berusaha ikut memoderatori hubungan kedua Korea? Bagaimana peran ASEAN yang dua kali menjadi “tuan rumah” pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump?
Ini barangkali, antara lain, sejumlah pertanyaan yang akan dibahas dalam diskusi yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Misi Korea Selatan di ASEAN di Hotgel Sheraton Grand, di Gandaria, Jakarta, pagi ini, Rabu (21/8).
Diskusi akan dibuka oleh Dutabesar Korea Selatan untuk ASEAN Lim Sungnam. Sementara pendiri FPCI Dino Patti Djalal akan menjadi pembicara kunci.
Pembicara lain kegiatan ini adalah Direktur Korean Peninsula Peace Regime Division, Kemlu Korsel, Park Sungil, dan Prof. Min Junghoon dari Korea National Diplomatic Academy.
Keduanya akan berbicara dalam sesi yang berjudul Recent Developments on the Korean Peninsula and the ROK’s Strategy for Peace and Security.
Sementara dalam sesi kedua akan dibahas peran ASEAN dan Indonesia untuk menjaga perdamaian dan keamanan Semenanjung Korea.
Sebagai pembicara dalam sesi ini adalah Prof. Dewi Fortuna Anwar dari LIPI, Hoang Anh Tuan dari Sekretariat ASEAN dan Teuku Faizasyah yang merupakan penasehat Menteri Luar Negeri Indonesia.
KOMENTAR ANDA