Pilot tidak mengerti bagaimana cara menerbangkan pesawat secara manual akibat terlalu mengandalkan teknologi. Demikian penuturan pejabat Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) perihal insiden kecelakaan maut yang melibatkan Boeing 737 MAX.
"Ketika mesin otomatis berhenti atau tidak bekerja dengan baik, pilot yang tidak memiliki pengalaman dan pelatihan yang cukup tentang kontrol manual yang tepat mungkin ragu-ragu untuk mengendalikan pesawat," demikian laporan FAA ke Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, ICAO.
Ketergantungan yang berlebihan pada sistem otomatis atau autopilot di pesawat berteknologi tinggi telah membuat pilot "lupa" untuk menerbangkan pesawat secara manual. Hal ini sangat berisiko terutama ketika sistem pesawat mengalami kegagalan dan pilot tidak tahu bagaimana cara mengambil alih.
Sementara itu, Daily Mail yang mengutip dari Times melaporkan, Selasa (8/10), menurut FAA kesalahan manual berkontribusi 92 persen dari semua kecelakaan pesawat di dunia.
Lebih lanjut, dalam laporan tersebut, FAA memberi solusi untuk ICAO agar bisa menerapkan perubahan dalam pelatihan yang sesuai dengan level AS. Selain itu pilot juga harus dilatih untuk lebih percaya diri ketika berada di belakang kendali pesawat, khususnya ketika mengoperasikan mesin secara manual.
Menurut lisensi level AS, seorang pilot butuh jam terbang minimal 1.500 jam. Sedangkan lisensi ICAO hanya mengharuskan pilot terbang 240 jam dengan simulator atau kokpit. Hal ini tak lepas dari kondisi tingginya permintaan pilot di dunia yang tidak diiringi dengan sumber daya mencukupi.
"Penting untuk mengembangkan ketahanan pilot ketika bereaksi terhadap efek yang mengejutkan dan mempertimbangkan reaksi manusia," tambah FAA.
Diketahui, seluruh armada Boeing 737 MAX terpaksa di-grounded setelah dua pesawatnya jatuh. Pesawat pertama yaitu Lion Air JT-610 yang jatuh pada 29 Oktober 2018 di Indonesia. Kedua adalah Ethiopian Airlines 302 yang jatuh pada 10 Maret 2019 di Ethiopia.
KOMENTAR ANDA