Publik dihebohkan dengan sitaan Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta terhadap pesawat baru A330-900 Neo yang baru saja dibeli di Prancis oleh Garuda Indonesia.
Barang mewah yang tidak disebutkan dalam manifesto pesawat tersebut berisi motor mewah Harley Davidson dan sepeda Brompton yang dipecah dalam bentuk 18 kotak. Dari 18 kotak terdapat 15 kotak berisi beberapa part motor Harley Davidson dan 3 kotak berisi 2 unit sepeda Brompton. Sementara 15 kotak tertulis coli claimtag inisial SAW, kotak lainnya tertulis coli claimtag inisial LS.
Pesawat sendiri terbang dari pabrikan Airbus di Toulouse, Prancis pada Sabtu (16/11), kemudian mendarat keesokan harinya di area Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno-Hatta.
Jurubicara Garuda menyebutkan dalam pesawat ada 10 awak dan 22 penumpang petinggi Garuda. Garuda tidak menyebutkan detail namanya tapi menurut MediaIndonesia.com, mereka adalah para direksi Garuda termasuk Direktur Utama Ari Askhara dan istrinya, Dyana Dewi; Direktur Teknik dan Layanan, Iwan Joeniarto; Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha, Muhammad Iqbal; dan Direktur Sumber Daya Manusia, Heri Akhyar.
Para jajaran direksi tersebut sedang melakukan tugas perusahaan yakni menjemput pesawat baru yang dipesan Garuda.
Karyawan yang Dituduh
Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Ditjen Bea dan Cukai, Denny Surjantoro membenarkan adanya sejumlah direksi Garuda di pesawat yang membawa onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton itu.
Namun hal tersebut dibantah oleh Jurubicara VP Corporate Secretary Garuda, Ikhsan Rosan dengan mengatakan seludupan tersebut milik seorang karyawan Garuda Indonesia, yaitu petugas yang menjemput di sana (petugas on board pesawat) dan bukan penumpang komersial Garuda.
Perlu diketahui, harga Harley Davidson Model Softail FXDR 114 seharga Rp 685 juta dan harga Brompton S2L-X Black seharga Rp 53,5 juta serta untuk 2 unit sebesar Rp 107 juta, totalnya sekitar Rp795 juta. Karyawan seperti apa yang dituduh dengan pekerjaan petugas on board pesawat itu?
Rusak Reputasi Garuda
Dengan kejadian seperti ini, Garuda sebagai perusahaan pasti dirugikan. Reputasi Garuda yang merupakan BUMN papan atas tercoreng dalam temuan penyeludupan 18 kotak dengan petinggi direksi di dalam pesawat yang sama.
Sebelumnya, masyarakat sudah mengeluh soal layanan Garuda. Harga tiket pesawat yang tinggi dengan jenis makanan yang tidak berkualitas menambah beban reputasi perusahaan.
Direksi sebelumnya, mantan Dirut Emirsyah Satar dan mantan Direktur Teknik dan Layanan Garuda, Hadinoto Soedigno ditetapkan tersangka dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK. Apakah prinsip good corporate governance (GCG) menjadi permainan vested interest di tubuh BUMN menjadi marak? Setidaknya itulah pertanyaan publik yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) Menteri BUMN baru, Erick Thohir.
Saham Garuda tercatat turun 12 persen (mtm) dari 580K (5 Nov 2019) menjadi 510K (5 Des 2019). Ini pertanda kasus penyeludupan tersebut perlu mendapatkan perhatian serius agar daya rusaknya tidak memberatkan nilai pasar perusahaan.
Shortfall Pajak 2019
Sungguh sangat miris, kejadian 18 kotak penyeludupan berisi Harley Davidson dan Brompton tersebut terjadi saat negara sedang mengalami shortfall pajak yang cukup tinggi dan defisit APBN membengkak.
Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan kekurangan penerimaan pajak pada tahun ini bakal berada di atas proyeksi. Kementerian Keuangan sebelumnya menargetkan shortfall pajak 2019 mencapai Rp 140 triliun.
Pada 2017 dan 2018 shorfall pajak masing-masing sebesar Rp 127,2 triliun dan Rp 110,78 triliun. Sementara, realisasi penerimaan pajak dari awal tahun hingga Oktober 2019 baru mencapai 65,71 persen dari target Rp 1.786,38 triliun. Jadi, masih ada kekurangan sekitar Rp 612,5 triliun.
Tax ratio dari 2010 ke 2018 pun terus menurun, dari 9,52 persen menjadi 8,85 persen. Itu hanya rasio pajak tanpa dihitung dengan bea dan cukai, serta royalti dari SDA migas dan tambang. Sementara tax ratio keseluruhan turun dari 13,61 persen pada 2010 menjadi 11,45 persen pada 2018.
Petinggi direksi BUMN harusnya sadar dan sangat peduli dengan jatuhnya capaian target pajak saat ini. Mereka memiliki tugas bagaimana membantu shortfall pajak tersebut agar tidak terlalu lebar.
Temuan 18 kotak menunjukan betapa rendahnya nasionalisme oknum direksi Garuda tersebut. BUMN ke depan harus selektif memilih direksinya, mereka yang berpotensi memiliki vested interest harus dipinggirkan karena jiwa nasionalisme oknum seperti itu sangat rendah.
Tidak Hanya Dicopot, Tapi Harus Diproses Hukum
Publik menunggu hasil investigasi lapangan pihak bea cukai maupun Kementerian BUMN. Jika pelakunya adalah oknum direksi maka oknum tersebut tidak hanya dicopot dari jabatannya tapi harus diproses hukum untuk memberi shock terapi agar tidak terulang di kemudian hari.
Bea cukai dan BUMN juga harus tranparan dalam pemeriksaan kasus ini. Sebenarnya kasus tersebut telah terungkap pada Minggu (17/11) namun baru dibuka publik pada kemarin Rabu (4/12). Bertepatan ketika Menteri BUMN Erick Thohir diwawancarai oleh salah satu media swasta nasional.
KOMENTAR ANDA