Elang Hitam, Black Eagle. Itu nama yang dipilih untuk prototype pesawat udara nir awak yang diproduksi PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Penampilan perdana Elang Hitam di hadapan publik dilakukan pertama kali dalam peluncuran atau roll out di Hanggar Rotary Wing PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung.
Drone dengan kemampuan jelajah kategori Medium Altitude Long Endurance (MALE) ini dikerjakan oleh konsorsium dalam negeri yang terdiri dari Kementerian Pertahanan RI melalui Ditjen Potensi Pertahanan dan Balitbang, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI AU melalui Dislitbangau, Institut Teknologi Bandung, PTDI, PT Len Industri, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Drone ini dibangun dan dikembangkan dalam rangka mendukung alat peralatan petahanan dan keamanan (alpalhankam) dan kesiapan industri pertahanan nasional.
Elang Hitam didisain untuk memiliki kemampuan terbang satu kali 24 jam non-stop, dengan waktu operasional maksimal selama 30 jam. Operational radius Elang Hitam disebutkan 250 km, dengan ketinggian jelajah (ceiling) 7,2 km. Drone sepanjang 8,3 m itu memiliki rentang sayap sepanjang 18 m.
Elang Hitam diproyeksikan dapat membawa beban seberat 300 kilogram, yang dapat berupa peralatan maupun persenjataan.
Flight Control System (FCS) yang digunakan Elang Hitam disebutkan buatan Spanyol yang akan diintegrasikan pada prototype yang akan diproduksi di awal tahun 2020.
Di tahun 2020, konsorsium pengembang Elang Hitam akan menyelesaikan proto type atau purwarupa kedua dan ketiga dan diharapkan mampu melalukan uji terbang dan uji kekuatan struktur di BPPT.
Selain itu, di tahun 2020 proses sertifikasi produk militer akan dilakukan dan diharapkan di akhir 2021 Elang Hitam sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Indonesian Military Airworthiness Authority (IMAA).
Ketika diperlihatkan ke hadapan publik dalam peluncuran, Elang Hitam tidak diterbangkan.
Menurut Direktur Utama PTDI, Elfien Goentoro, penerbangan akan dilakukan dalam prototype kedua yang akan dibangu ndi tahun 2020.
Sementara pada phase keempat, protoype akan dilengkap dengan persenjataan.
Adapun Kepala BPPT, Hammam Riza, mengatakan bahwa drone ini dibuat untuk efisiensi pengawasan wilayah Indonesia dari udara. Termasuk di dalamnya untuk menangani ancaman daerah di perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti pembalakan liar dan pencurian ikan di laut.
“(Drone) ini bukan hanya untuk kombatan saja, walaupun fokus utamanya adalah untuk kombatan. Tapi TNI AU juga membutuhkan untuk bagaimana melaksanakan pengawasan terhadap illegal logging, illegal fishing, mengawasi perbatasan, pulau-pulau terluar,” jelasnya.
KOMENTAR ANDA