Angkatan Udara Amerika Serikat mengirim empat pesawat pengebom B-1B Lancer dengan 200 penerbang dari Pangkatan Angkatan Udara Dyess di Texas ke Pangkalan Angkatan Udara Andersen di Pulau Guam.
Pengerahan sejumlah pasukan itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara Beijing dan Washington di Laut China Selatan dan pandemik virus corona baru.
Pekan lalu, Beijing melaporkan "mengusir" kapal perusak rudal AS, USS Barry untuk keluar dari Laut China Selatan.
Dilaporkan Sputnik, Minggu (3/5), Pentagon tidak mengungkapkan secara pasti berapa lama para pengebom itu akan berada di Guam. Namun pada 17 April, AS telah menarik sekelompok pengebom Stratofortress berkekuatan nuklir B-52 kembali ke AS.
Dikatakan oleh Kepala Manajemen Pasukan Operasi PACAF (Pasukan Udara Pasifik AS), Letnan Kolonel Frank Welton, B-1 mampu membawa Rudal Pesiar Anti-Permukaan Jarak Jauh (LRASM). Namun, ia tidak menyebutkan hanya kapal perang siapa yang akan ditargetkan oleh rudal berpemandu presisi ini jika terjadi konflik.
Meski begitu, menurut peneliti senior RAND Corporation, Timothy Heath, keberadaan B-1 di Guam akan membuat AS sangat rentan.
"Seorang perencana di militer China bisa dengan mudah merencanakan cara-cara menghancurkan pengebom karena kehadiran mereka yang terkenal," ujarnya.
Pengerahan B-1 di Guam adalah yang pertama kalinya sejak 2017. Ketika itu, pengebom dikirim ke Jepang dan Korea Selatan yang tengah bersitegang dengan Korea Utara atas program nuklirnya.
Diperkenalkan pada pertengahan 1980-an, Rockwell B-1 Lancer awalnya dirancang sebagai pengebom berat berkemampuan nuklir. Setelah Perang Dingin, para pembom dipasang kembali untuk peran konvensional, membawa hingga 23.000 kg bom dan rudal pada titik-titik keras eksternal, atau 75.000 pon bom dan rudal di teluk bom internalnya.
Selain LRASM, bomber ini mampu membawa bom glide Senjata Gabungan Bersama AGM-154, dan Rudal Udara Gabungan AGM-158.
China sendiri belum mengomentari penyebaran B-1 di Guam, namun pada pekan lalu telah mengecam aksi AS yang disebutnya sebagai "militerisasi Laut China Selatan".
"(Tentara Pembebasan Rakyat) akan tetap siaga tinggi, dan dengan tegas menjaga kedaulatan nasional, keamanan dan kepentingan pembangunan, serta perdamaian dan kemakmuran kawasan," ujar jurubicara Kementerian Pertahanan China, Kolonel Wu Qian pada pekan lalu.
KOMENTAR ANDA