post image
Ilustrasi
KOMENTAR

COVID-19 telah memporakporandakan  jalur penerbangan komersial di seluruh dunia.   Kondisi yang dihadapi sekarang ini adalah jauh dari perkiraan dan antisipasi para pelaku usaha dibidang angkutan udara sipil komersial.   Beberapa Maskapai penerbangan di Amerika , Eropa dan Australia sudah memberikan sinyal tentang ancaman gulung tikar usaha mereka.   Di Indonesia sendiri INACA, Indonesia National Air Carrier Association mengatakan bahwa penerbangan di Indonesia sudah menurun lebih dari 50% dan ancaman kesulitan keuangan Maskapai Penerbangan sudah berada didepan mata.

Indonesia sendiri sebagai sebuah negeri, perhubungan udara memerankan kebutuhan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup bernegara.   Nusantara yang begitu luas dan terletak pada persimpangan antar benua, jelas memegang peran penting bagi jaring hubungan udara dikawasan dan global.   Di dalam negeri, sebagai negara kepulauan dan yang banyak terdapat kawasan pegunungan, maka perhubungan udara telah menjadi sebuah kebutuhan mutlak.   Disamping sebagai sarana yang diperlukan bagi angkutan dukungan administrasi dan logistik pemerintahan, perhubungan udara juga dibutuhkan bagi pelayanan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sarana angkutan transportasi.

Sejak dahulu, idealnya Indonesia memang membutuhkan sebuah Maskapai Penerbangan pembawa Bendera, Duta Bangsa yang menghubungkan kota-kota besar di seluruh  tanah air dan kota-kota besar di dunia.  Indonesia juga perlu memiliki sebuah Maskapai Penerbangan Perintis yang menyelenggarakan penerbangan dalam melayani jaring perhubungan kota-kota kecil, yang tersebar luas dan terisolasi.  Selain itu, kita juga butuh Maskapai penerbangan charter untuk memudahkan pergerakan kegiatan bisnis dari para investor.   Berikutnya adalah sebuah Maskapai Penerbangan yang khusus melayani angkutan barang atau kargo.   Beberapa waktu yang lalu kita memang sudah memiliki Garuda sebagai Flag Carrier, MNA – Merpati Nusantara Airlines untuk penerbangan perintis dan Pelita Air Service untuk pelayanan penerbangan charter.   Kargo masih belum berkembang secara khusus , karena dipandang masih cukup di layani atau memanfaatkan  penerbangan yang membawa penumpang.    Walaupun kebutuhannya sudah mulai nampak dalam periode 10 tahun terakhir.   Itulah untuk sementara yang telah diselenggarakan oleh negara sesuai kebutuhannya.   Tentu saja dapat dipastikan kesemua itu belum cukup, karena kebutuhan yang terus meningkat sesuai dengan pertumbuhan ekonomi.   Itu sebabnya, maka masih diperlukan peran pihak swasta untuk ikut serta sebagai bagian dari program atau rencana pembangunan nasional.  Demikianlah kita menyaksikan Maskapai penerbangan swasta yang bermunculan, datang dan pergi sepanjang bergulirnya perkembangan perhubungan udara sejak awal tahun 1960-an.

Perkembangan pesat transportasi udara di dunia dalam 25 tahun terakhir turut pula mempengaruhi perkembangan dunia penerbangan di dalam negeri.  Pergeseran terjadi dari sebuah pola angkutan udara sipil komersial yang tidak lagi menjadi model yang bergelar Glamour dan Luxurious menjadi terjangkau bagi lebih banyak orang.  Perkembangan pasar dan model bisnis serta strategi pemasaran memunculkan moda angkutan udara murah dengan label Low Cost Carrier.   Inilah yang kita saksikan bersama tentang bagaimana terjadinya perang harga tiket murah terjadi dan memperoleh sambutan yang luar biasa dari semua pihak.  Persaingan kurang sehat yang berkembang kemudian telah mengakibatkan Pemerintah terpaksa mengeluarkan regulasi yang tidak lazim yaitu aturan yang mengatur harga batas atas dan batas bawah dalam pola penjualan tiket pesawat terbang di Indonesia.

Sejalan dengan lajunya perkembangan angkutan udara berbiaya murah terlihat bisnis yang berhubungan dengan penerbangan berkembang cepat sekali.   Sektor Pariwisata, hotel, biro perjalanan, bandara dan bisnis terkait, tumbuh secara signifikan.   Kurun waktu ini dikenal sebagai era penerbangan tiket murah meriah.

Banyak tidak disadari bahwa era harga tiket murah ternyata harus dibayar mahal oleh setidaknya, dalam kurun rentang waktu itu telah terjadi demikian banyak kecelakaan pesawat terbang yang parah.   Indonesia diturunkan peringkatnya ke kategori 2 penilaian FAA, otoritas penerbangan Amerika Serikat karena hasil evaluasi ICAO menunjukkan kita tidak memenuhi syarat aturan Keselamatan Penerbangan sesuai regulasi internasional, CASR – Civil Aviation Safety Regulation. Itu terjadi sejak tahun 2007 sampai dengan 2017.     Tidak itu saja, kita juga di Ban oleh Uni Eropa dengan sebab yang sama, tidak comply dengan International Civil Aviation Safety Standard.   Ini semua adalah sebagai akibat dari lalainya kita mematuhi regulasi internasional dalam aspek keselamatan penerbangan.   Pemahaman tentang kepatuhan terhadap regulasi internasional belum menjadi “way of thinking” bagi stake holder penerbangan di Indonesia, terutama dalam bidang pembangunan infrastruktur pendukung operasi penerbangan di dalam negeri.   Dalam hal ini termasuk didalamnya pada standar pembangunan Aerodrome dengan Runway dan Taxiway nya.

Tidak itu saja, Maskapai Penerbangan berguguran dan kini hanya tinggal sedikit saja yang mampu bertahan.   Disisi lainnya, kita juga menyaksikan berhenti operasinya Maskapai Penerbangan Perintis MNA dan Masalah keuangan yang tengah membelit Garuda Indonesia.  Persoalan yang cukup pelik  karena banyak sebab, antara lain proses pembelian dan sewa pesawat terbang yang ternyata tidak atau kurang tepat sasaran serta meleset dalam pola efisiensi operasional penerbangan komersial.

Era Tiket murah telah berhasil membuat pertumbuhan penumpang yang spektakuler di Indonesia.   Hal ini ternyata telah memunculkan kesulitan lain sebagai akibat dari tertinggalnya pembangunan infrastruktur penerbangan serta pembinaan dalam hal pendidikan dan latihan sdm bidang aviasi.   Indikator utama adalah kelebihan kapasitas penumpang di beberapa bandara strategis yang merambah ke kawasan terbatas di Pangkalan Udara Militer dan kasus kelebihan sekaligus kekurangan tenaga Pilot dan juga teknisi serta Air Traffic Conroller.

Akhirnya setelah mencapai titik puncak kulminasi persaingan harga tiket, dimana sudah banyak maskapai penerbangan yang tutup dan tinggal beberapa saja yang bertahan, maka otomatis era harga tiket murah  berakhir.   Harga tiket kembali kepada standar normal tarif angkutan udara yang relatif “mahal”, dibandingkan dengan moda angkutan darat dan laut,  karena sifatnya yang memang padat modal dan berbiaya tinggi.   Momen ini secara kebetulan terjadi pada masa kurs dolar naik dan harga bahan bakar Avtur melonjak.  Muncullah banyak complain dan protes terhadap kenaikan harga tiket pesawat terbang.  Kurva dari frekuensi penerbangan menurun drastis dan itulah yang baru saja kita hadapi 2 tahun terakhir.   Muncul kehebohan yang berjudul harga tiket pesawat menjadi mahal serta di tenggarai ada kongkalikong permainan harga tiket, serta tuduhan kerja sama Maskapai penerbangan yang melakukan duopoli dan lain sebagainya.

Demikianlah keadaan  atau kondisi dari jajaran perhubungan udara nasional, dimana Maskapai Penerbangan swasta yang mampu bertahan, sedang menata ulang posisi pasca era tiket murah dan Garuda Indonesia yang belakangan ini tengah berada dalam proses silih berganti perubahan jajaran manajemen  tengah  berupaya mengatasi kesulitan keuangan yang cukup berat.

Nah, dalam realita yang seperti itu sulitnya, tiba-tiba datang wabah virus corona covid 19, maka dapat dibayangkan betapa berat tantangan kedepan yang dihadapi dunia penerbangan nasional sekarang ini.   Dibanyak negara sudah keluar berbagai analisis tentang kondisi Maskapai Penerbangan yang bila tidak memperoleh bantuan dari pemerintah akan segera bangkrut.   Apalagi di Indonesia, Maskapai yang tengah menghadapi berbagai masalah internal perusahaan, dipastikan tanpa adanya campur tangan pemerintah, Maskapai Penerbangan akan sulit sekali untuk dapat menghindar dari insolvency atau kebangkrutan.

Pertanyaannya kemudian , lalu bagaimana cara untuk mengatasi persoalan pelik ini.   Jawaban satu-satunya adalah “back to basic”.   Pemerintah harus segera turun tangan agar penyelenggaraan jalur perhubungan udara dikendalikan terlebih dahulu sesuai kebutuhan dari situasi kedaruratan covid 19.   DImulai lagi dengan mendahulukan kebutuhan penyelenggaraan dukungan administrasi logistik dalam mendukung mekanisme birokrasi pemerintahan dan kebutuhan pokok hajat hidup masyarakat luas.   Selanjutnya, secara terbatas menyelenggarakan layanan masyarakat bagi kebutuhan transportasi udara.   Demikian selanjutnya sampai kepada situasi dan kondisi dapat berkembang lebih luas dan lebih baik lagi sehingga dapat mempertimbangan kembali keikut sertaan pihak swasta.    Intinya disini, prioritas bantuan yang diberikan pemerintah adalah kepada Maskapai Penerbangan milik negara terlebih dahulu, karena misi visi nya dapat dikendalikan langsung oleh pemerintah untuk difokuskan kepada target utama menormalkan kembali sistem perhubungan udara nasional secara keseluruhan.    Kalkulasi yang menjadi perhitungannya adalah “kepentingan nasional”, yang akan sangat berbeda dengan tujuan memperoleh keuntungan semata dari para investor.   Terlebih lagi dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini.

Untuk keperluan misi-misi tertentu, terutama dalam hal menghadapi kedaruratan, maka Maskapai Penerbangan milik pemerintah adalah  satu-satunya “The Airlines of Choice”, disamping penerbangan militer apabila situasi memburuk.   Bukan tidak mungkin dilakukan pula oleh pihak swasta, akan tetapi ditengah turbulensi covid 19 ini, pihak swasta pun tengah berada dalam kesulitan keuangan yang membutuhkan bantuan.   Pada sisi lain, hal tersebut juga akan membuka peluang terhadap terjadinya “conflict of interest”.   Jauh lebih baik mencegah dari pada melakukan tindakan perbaikan setelah kerusakan terjadi.   Pencegahan kesehatan jauh lebih baik dari pada sebuah proses pengobatan.

Tindakan segera, dan jangan sampai terlambat harus dilakukan sekarang ini.   Pembentukan semacam satuan tugas udara yang dikendalikan secara terpusat dan merupakan bagian integral dari program pemerintah dalam upaya percepatan penanggulangan covid 19 kiranya akan menjadi satu-satunya pilihan agar secara bersama-sama kita semua dapat segera keluar dari kesulitan ini dengan segera.

Kiranya sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertindak.   Berbicara tentang waktu,  banyak orang yang berpendapat bahwa  Better several hours too soon than a minute too late.

Mantan KSAU dan pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia.


Dampak Harga Tiket Pesawat yang Ditentukan oleh Pemerintah

Sebelumnya

Catatan Tercecer dari Zhuhai yang Keren

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim