Maskapai pembawa bendera, Garuda Indonesia tengah kelimpungan menghadapi kondisi ekonomi yang bobrok karena dihantam pandemik Covid-19.
Berbicara kepada parlemen, Komisi VI DPR RI, pada Selasa (14/7), Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiawan mengungkap, kondisi yang sedang dihadapi perusahaannya.
Tercatat hingga 1 Juli 2020, Garuda Indonesia memiliki utang hingga 2,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 32,3 triliun (Rp 14.700/dolar AS).
Dari jumlah tersebut, Irfan menjelaskan, sebanyak 905 juta dolar AS merupakan utang operasional, 668 juta dolar AS dari pinjaman jangka pendek, dan 645 juta dolar AS dari pinjaman jangka panjang.
Dengan kondisi tersebut, Irfan mengaku perusahaannya sangat membutuhkan segera pencairan dana talangan dari pemerintah senilai Rp 8,5 triliun. Lantaran menurutnya, saat ini Garuda hanya memiliki kas sebesar 14,5 juta dolar AS atau Rp 213 miliar.
"Kita berharap dana ini bisa diperoleh, kami (juga) melakukan pembicaraan dengan BUMN untuk bisa melakukan <i>bridging</i> dana pinjaman dari bank Himbara," jelasnya.
Sulitnya situasi yang ada, membuat Garuda harus mengambil berbagai langkah untuk bisa bertahan selama gempuran Covid-19.
Salah satunya adalah dengan tawaran pensiun dini pada pegawai berusia di atas 45 tahun.
"Sampai saat ini hampir mencapai 400 orang bersedia secara sukarela mengikuti program pensiun dini tersebut," ungkap Irfan.
Tidak hanya itu, Garuda juga melakukan rasionalisasi terhadap 800 karyawan dengan kontrak perjanjian kerja waktu tertentu dalam bentuk <i>unpaid leave</i>.
Percepatan kontrak pada 135 pilot berstatus PKWT juga dilakukan dengan memberikan hak-hak mereka.
Lebih lanjut, Irfan mengatakan, pihaknya juga melakukan pemangkasan gaji, mulai dari 10 persen untuk level staf hingga 50 persen untuk direksi. Karena sifatnya penundaan, maka perusahaan akan mengembalikan akumulasi gaji yang terpotong ketika situasi keuangan sudah kembali normal.
KOMENTAR ANDA