post image
Ilustrasi FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna/Net
KOMENTAR

Ketidakpaduan pemahaman mengenai <i>Flight Information Region</i> (FIR) Kepulauan Riau-Natuna di antara pihak-pihak yang melakukan negosiasi dengan Singapura menjadi salah satu hambatan molornya pengambilalihan tersebut hingga hampir 30 tahun.

Demikian yang disampaikan oleh Gurubesar Fakultas Hukum Univeristas Padjajaran, Prof. Atip Latipulayat dalam webinar bertajuk "FIR di Atas Kepulauan Riau & Natuna" pada Kamis (10/9).

Kepala ICASL Unpad tersebut mengatakan, meskipun Singapura memiliki posisi yang tidak kuat dalam negosiasi pengambilalihan FIR Kepulauan Riau-Natuna, namun ia berhasil memanfaatkan ketidakpahaman Indonesia.

Dibuktikan <i>Framework of Discussions Between Indonesia and Singapore</i> pada 12 September 2019 yang disepakati oleh Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan dan Menko Keamanan Nasional Singapura pada 12 September 2019.

Di dalam kerangka diskusi tersebut dijelaskan, Indonesia dan Singapura akan bekerja bersama untuk mencapai kesepakatan dalam isu FIR dan latihan militer di Laut China Selatan sesuai dengan Pasal 51 UNCLOS 1982.

Menurut Atip, poin tersebut membingungkan karena Singapura selama ini enggan memasukan aspek pertahanan dan keamanan dalam negosiasi FIR dengan Indonesia. Alih-alih fokus pada keselamatan dan efektifitas navigasi ruang udara secara teknis.

Indonesia pun mengikuti keinginan Singapura dengan tidak membawa isu kedaulatan di dalam negosiasi.

Selain itu, ia menjelaskan, Pasal 51 UNCLOS 1982 tidak terkait dengan militeristik dan membahas mengenai perikanan sehingga tidak tepat untuk dijadikan dasar hukum.

Melihat kerangka diskusi tersebut, Atip mengungkap, terjadi ketidaksatuan sikap pihak di Indonesia yang terlibat dalam pengambilalihan FIR.

"Jangan-jangan ketidakpaduan itu dipahami Singapura sehingga mereka dalam <i>frame of discussion</i> itu sudah 1-0," ujarnya.

Untuk itu, Atip mendesak Indonesia untuk menegaskan betul status hukum FIR di atas Kepulauan Riau-Natuna dan menyatukan pandangan para negosiator.

Di sisi lain, Indonesia juga harus memperkuat posisi di International Civil Aviation Organization (ICAO). Mengingat Indonesia adalah anggota Council ICAO.

"Meskipun itu otoritas teknis, tapi aroma politiknya cukup kuat," terangnya.

Ia juga menambahkan, regularasi, sumber daya manusia, dan teknologi juga harus ditingkatkan untuk mendukung upaya <i>take over</i> atau pengambilalihan FIR dari Singapura.

Pada dasarnya, Indonesia diuntungkan karena memiliki banyak pengalaman pengaturan navigasi, baik domestik maupun internasional. Di mana Singapura tidak memiliki penerbangan domestik.


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews