GEDUNG Capitol Hill diserang oleh para pendukung Presiden Trump pada tanggal 6 Januari 2021. Serangan tersebut dilakukan oleh para pendukung Presiden Trump setelah keluar keputusan yang menyatakan Jo Biden sebagai pemenang pemilihan presiden Amerika Serikat.
Mantan presiden Obama mengatakan setelah kerusuhan terjadi, "sejarah akan mengingat kekerasan hari ini di Capitol, yang dipicu oleh seorang presiden yang terus berbohong tanpa dasar tentang hasil pemilihan yang sah, sebagai aib besar dan memalukan bagi bangsa kita."
Kejadian seperti ini tidak begitu aneh bisa terjadi, karena sistem pemilihan presiden ala demokrasi adalah dengan cara voting yang memungkinkan siapa saja bisa menjadi Presiden sepanjang berhasil memperoleh jumlah suara yang paling tinggi. Artinya adalah bahwa dalam pemilihan pemimpin dalam hal ini presiden, maka faktor integritas moral kepribadian seseorang atau personal kredibiliti tidak menjadi ukuran untuk dipertimbangkan.
Siapa saja, walau tidak memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin sekalipun, akan tetap bisa menjadi presiden dalam sistem demokrasi, sepanjang mampu memperoleh suara terbanyak. Itulah yang terjadi dengan presiden Trump.
Demokrasi Amerika Serikat telah mempertontonkan ke seluruh dunia betapa pola pemilihan suara untuk memilih presiden telah berakibat tragedi yang mengukir sejarah di tanggal 6 Januari 2021. Demokrasi telah muncul memperlihatkan wajah aslinya.
Amerika Serikat sebagai negara mbahnya demokrasi dan yang telah mempromosikan demokrasi keseluruh dunia, pasca peristiwa 6 Januari 2021 akan kesulitan untuk mengatakan kepada dunia bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang “the best”. Amerika kini menjadi tontonan dunia tentang terjadinya perpecahan, kekerasan dan tindakan anarkis setelah memilih Trump sebagai presiden.
Kerusuhan dan perpecahan diantara rakyatnya yang harus dihadapi dalam proses menjalankan sistem demokrasi. Tentu saja kesemua ini tidaklah mewakili sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan rujukan terhadap penilaian terhadap sistem demokrasi. Akan tetapi paling tidak dunia tengah menyaksikan betapa Amerika Serikat mengalami peristiwa besar yang sangat memalukan dalam peradaban umat manusia.
Di luar Amerika Serikat, terutama di Asia tidak terdapat satu pun negara yang menganut demokrasi menjadi negara yang aman makmur dan sejahtera seperti yang didambakan. Demokrasi memang tidak menjanjikan hal itu, akan tetapi diakui bahwa sistem yang paling dapat diterima dalam abad ini adalah demokrasi.
Demokrasi telah dilihat sebagai tolok ukur peradaban sebuah bangsa. Indonesia sendiri sangat bangga disebut-sebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi memang tampil dalam banyak varian yang mengikutinya dan demokrasi banyak disebut sebagai harus disesuaikan dengan situasi kondisi, tradisi dan budaya lokal misalnya.
Di Indonesia sendiri, sejak awal kemerdekaan RI, Indonesia telah menjalankan beberapa model demokrasi antara lain demokrasi terpimpin ala Bung Karno, demokrasi di era Soeharto dan demokrasi era reformasi. Realitanya adalah sampai dengan saat ini perpecahan yang terjadi sebagai akibat dari pemilihan pemimpin berdasar perolehan suara terbanyak masih tetap terasa.
Pertentangan menjurus permusuhan yang mengantar kepada potensi perpecahan antar warga yang terjadi di antara kubu pendukung dan lawannya tidak pernah kunjung usai. Pertentangan yang akan secara terjadwal terjadi pada setiap 5 tahun sekali.
Dengan pengalaman yang cukup panjang dari sejarahnya sendiri dan pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang baru saja terjadi dinegara mbahnya demokrasi, akankah Indonesia meninjau ulang untuk mencari model demokrasi yang paling cocok untuk diterapkan sebagai pengantar negeri tercinta ini menuju cita-citanya. Yang pasti adalah kejadian 6 Januari 2021 adalah tanggal yang patut dicatat.
Mungkin bisa saja dicatat sebagai hari dimana sang “demokrasi” memperlihatkan wajah aslinya, the origin of democracy.
Penulis adalah pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia
KOMENTAR ANDA