post image
Pesawat Garuda Indonesia/Net
KOMENTAR

Pandemi Covid-19 yang menimpa banyak negara di seluruh dunia bak petir di siang bolong bagi sektor industri aviasi.

Betapa tidak, pandemi tersebut dengan cepat meluas dan menjadi ancaman bagi ketahanan negara, terutama terkait aspek kesehatan. Hal tersebut juga berimbas pada kebijakan banyak negara dan wilayah di seluruh dunia yang menutup perbatasan mereka dan melimitasi dengan ketat mobilitas manusia.

"Pandemi Covid-19 ini seperti kiamat kecil industri transportasi udara. Terjadi secara mendadak di luar prediksi dan bahkan dampaknya meluas ke aspek sosial, ekonomi dan politik," ujar pengamat penerbangan Alvin Lie dalam diskusi virtual mingguan RMOL World View bertajuk "Apa Kabar Dunia Aviasi Tanah Air?" yang diselenggarakan pada Senin (7/6).

Akibatnya, rute internasional terdampak berat dengan jumlah penumpang nyaris nol.

Semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sektor aviasi pun turut merasakan dampaknya.

"Bukan hanya pemilik maskapai, tapi juga pekerja, pesaingnya, subtitusi (angkutan darat, laut dan sebagainya), di sini juga ada ekosistem, customer, travel agent, kargo, pembuat pesawat, lessor yang menyewakan pesawat, asuransi, catering, banyak yang ikut terdampak." jelas Alvin.

"Jadi ketika industri airlines lesu, semua ini mengalami lesu juga karena uangnya tersendat," sambungnya.

Sebagai gambaran atas seberapa parahnya dampak pandemi Covid-19 pada dunia aviasi global, Alvin mengutip data dari Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) yang menyebutkan bahwa ada sekitar 330 juta lapangan kerja dalam sektor penerbangan pariwisata dengan kontribusi sekitar 8,9 triliun dolar AS dari PDB global.

Namun jika penutupan perbatasan negara terus menerus berlangsung hingga September 2020, kontribusi tersebut akan merosot drastis hingga 62 persen serta menyebabkan 197 juta lapangan kerja akan hilang.

"Jumlah pelaku perjalanan akan berkurang hingga satu miliar orang untuk perjalanan internasional. Jadi masalah di dunia aviasi ini bukan hanya terjadi di Indonesia," paparnya.

Lantas bagaimana dengan situasi yang terjadi di Indonesia?

Kondisinya tidak jauh lebih baik. Alvin merujuk pada data yang dirilis oleh Kementerian Perhubungan RI tahun 2020 lalu mengenai pertumbuhan air traffic di tanah air tahun 2018-2020.

Data tersebut menunjukkan bahwa pada bulan-bulan awal pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, jumlah pergerakan pesawat di Indonesia merosot drastis.

"(Periode) yang mengerikan antara Mei, Juni, dan Juli (2020), ketika kita praktis berhenti. Traffic turun 85 persen di bulan Mei, turun 76 persen di bulan Juni, turun 62 persen di bulan Juli," ungkapnya.

Sayangnya, tren semacam ini masih terus berlanjut hingga tahun 2021 ini, paling tidak di kuartal pertama tahun 2021 ini.

"Pada kuartal pertama tahun 2021, jumlah penumpang maskapai penerbangan di Indonesia masih belum pulih. Data menunjukkan, jumlah penumpang Lion Air di paruh pertama 2021 rata-rata 64,78 persen dari penerbangan yang dijalankan. Wings Air 63,34. persen, Batik Air 69,66 persen, Citilink 41,03 persen. Bahkan Garuda Indonesia 28,53 persen. Ibaratnya, dari kapasaitas keseluruhan pesawat, isinya kurang lebih hanya sepertiga," papar Alvin.


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews