ADA beberapa catatan dari dunia penerbangan Indonesia pada penghujung tahun 2021 ini.
Berita paling mutakhir adalah pengumuman dari Kementrian Perhubungan tentang sudah boleh diterbangkan lagi pesawat Boeing B-737 MAX 8 yang 3 tahun lalu di-grounded menyusul kecelakaan fatal sangat tragis Lion Air dan Ethiopian Airlines.
Sementara itu pengaruh pandemi Covid-19 masih juga belum mereda, walau beberapa bulan terakhir penerbangan domestik Indonesia sudah mulai menggeliat menuju normal kembali.
Di sisi lain, maskapai penerbangan kecintaan masyarakat banyak, Garuda, tidak juga menunjukkan performa yang diharapkan setelah mengalami kesulitan keuangan yang parah. Kondisi maskapai penerbangan pembawa bendera bermerek Garuda menggambarkan betapa manajeman BUMN yang sangat buruk.
Sayangnya meskipun sudah demikian banyak sinyalemen muncul ke permukaan tentang telah terjadinya korupsi dan salah urus, tetap saja belum terdengar tentang akan dilakukannya investigasi atau audit yang menyeluruh. Seperti juga banyak perusahaan BUMN lainnya yang terdengar salah urus, memang tidak pernah terdengar upaya kuat untuk segera mengatasinya dengan cara yang professional. Ada kesan "pembiaran" dari waktu ke waktu.
Berikutnya kabar gembira tentang pesawat buatan anak bangsa yang sudah susah payah tertatih-tatih selama 7 tahun akhirnya dapat memperoleh sertifikat.
Sayangnya adalah hingga kini tidak terdengar lagi kabar tentang perkembangan pesawat N-219. Belum terdengar kapan pesawat kebanggaan N-219 akan meluncur pada jalur "production line" PTDI. Yang beredar justru kabar kabar sampingan tentang akan dibuatnya varian N-219 sebagai amphibian aircraft dan juga tentang upaya elektrifikasi pesawat N-219 tersebut.
Pencinta produk pesawat terbang dalam negeri sangat berharap-harap cemas agar N-219 tidak masuk dalam pusaran jargon jenaka pesawat produk PTDI “Tetuko”, "Sing tuku ora teko teko, sing teko ora tuku tuku". Lebih parah lagi, karena pesawat nya sendiri yang siap dijual memang belum ada.
Demikian pula pengelolaan bandara di Indonesia yang sangat
kontroversial dalam hal peran sebagai International Airport dan Domestik yang telah mengundang polemik. Jalur penerbangan domestik yang harusnya dilindungi dalam azas Cabotage telah banyak terganggu dengan banyaknya International Airport yang diresmikan. Penetapan Bandara Antar Bangsa alias International Airport yang terlalu banyak di Indonesia, bahkan sempat di kemukakan oleh presiden sendiri beberapa waktu lalu.
Kabar hangat lainnya adalah tentang akan ditutupnya Lanud Halim untuk perbaikan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Judul dari penutupan Halim ini, seperti biasa selalu “mentereng” yaitu Revitalisasi Bandara Halim. Padahal realita sebenarnya yang terjadi adalah kondisi bandara Halim terutama runway-nya sudah sangat membahayakan keselamatan penerbangan.
Penyebab yang sebenarnya sudah dapat di antisipasi jauh sebelumnya, yaitu ketika tanpa persiapan yang matang Lanud Halim harus dan telah dipaksa menerima “muntahan” kelebihan kapasitas take off-landing dari Soekarno Hatta (adegan ini dulu judulnya optimalisasi bandara Halim).
Landasan pacu yang tanpa di-support oleh taxy way digenjot demikian banyak traffic penerbangan sipil komersial sudah pasti akan rusak parah. Pesawat terbang dengan load yang besar tidak hanya menggunakan runway untuk take off dan landing akan tetapi juga terpaksa digunakan untuk “taxy down the runway” pasti akan jebol.
Di samping itu tingginya traffic take off dan landing dengan load yang berat telah membuat siklus pemerliharaan runway menjadi terkendala. Itu semua yang kemudian menjadi salah satu penyebab yang mengakibatkan kerusakan parah runway di Bandara Halim.
Kesimpulan sementara adalah optimalisasi Bandara Halim beberapa waktu lalu kini telah menghasilkan sekuel baru bernama "Revitalisasi Bandara Halim". Optimalisasi yang berbuah revitalisasi.
Sampai di sini, harus diakui bahwa sisi perencanaan dalam pengelolaan industri penerbangan nasional memang belum ditangani dengan baik.
Produk N-219 yang terlunta-lunta, maskapai penerbangan terutama Garuda dan didahului oleh Merpati Nusantara Airlines yang amburadul, serta pengelolaan bandara di Indonesia (dari optimalisasi ke revitalisasi) adalah sebuah refleksi dari tuntutan introspeksi menyeluruh bagi dunia penerbangan nasional.
Dunia penerbangan nasional memerlukan tata kelola yang professional, terencana dan sdm yang kompeten dan berkualitas. Dunia penerbangan nasional membutuhkan satu badan khusus ditingkat strategis yang menanganinya (sejenis Dewan Penerbangan yang sudah almarhum).
Dunia penerbangan tidak akan sanggup ketika dikelola “hanya” oleh Kementerian Perhubungan seorang diri. Dunia penerbangan nasional memerlukan perencanaan jangka panjang yang tertuang dalam format baku dan berkelanjutan serta lintas sektoral.
Dunia penerbangan memang menjadi sulit dikelola tanpa perencanaan yang matang. Dunia penerbangan nasional memerlukan SDM yang kompeten dan professional di bidangnya. Dunia penerbangan nasional sangat membutuhkan institusi pendidikan dan latihan bertaraf dan berstandar Internasional. Dunia penerbangan membutuhkan dukungan sebuah lembaga baku untuk penelitian dan pengembangan.
Itulah sekedar catatan di akhir tahun dari kilas balik dunia penerbangan kita, semoga melangkah ke tahun depan kita dapat menjadi lebih baik lagi.
Selamat Tahun Baru.
*Penulis merupakan Pendiri dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)
KOMENTAR ANDA