Iggi Harumanm Achsien, Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
AL Hajju Arafah. Haji adalah Arafah. Berdiam diri dari tergelincir sampai tenggelamnya matahari. Di sebuah padang luas pada tanggal 9 Dzulhijjah. Padang yg dikelilingi bukit-bukit bebatuan.
Tidak ada monumen. Tidak ada bangunan yang bisa dijadikan background atau spot berfoto ataupun swafoto alias selfie. Hanya padang kosong yang diisi tenda-tenda untuk jutaan jamaah manusia.
Saat umrah di Mekkah, masih ada Kabah. Ketika jumrah, masih ada tiang-tiang jamarat di sana. Banyak yang berfoto di depan Kabah dan jamarat. Bahkan ada yang sempat juga merekam video. Entah yang mana fokusnya, diri sendiri atau Kabah dan Jamaratnya. Mungkin untuk menjadi pengingat momentum pada saat itu.
Tapi tidak di Arafah. Kalaupun foto diambil, lebih menggambarkan suasana dan aktivitas di Arafah. Atau mengambil foto langit senja Arafah. Karena memang di Arafah seharusnya berdiam. (Kalau banyak berfoto berarti tidak berdiam?) Berkontemplasi. Tafakur. Merenung. Seperti Nabi SAW saat menyepi di Gua Hira. Seperti perjalanan pemikiran dan rasa Ibrahim As saat menemukan Tuhan dan sampai kepada tawhid.
Karena mulianya hari Arafah, dalam hal tempat dan waktu diijabahnya doa-doa, jamaah juga dianjurkan banyak berdoa. Melangitkan harapan dan permintaan-permintaan terbaik. Ada yang menuliskan daftar doa-doanya. Ada yang spontan mengucap lirih doa doanya. Ada yang mengikuti imam yang memimpin doa. Ada juga yang meng-amin-kan doa-doa agar dibawa malaikat-malaikat penjaga Arafah ke hadapan Allah. Jutaan doa memenuhi padang dan langit Arafah.
Tidak perlu foto atau video yang menjadi pengingat di Arafah saat kita berdiam dan berdoa. Karena momentum Arafah sudah sepatutnya melekat di hati, menempel erat di pikiran. Momentum Arafah menjadi sangat personal antara masing-masing jamaah dengan Allah.
Ketika prosesi haji dimulai, dengan menggemakan talbiyah, Labbaik Allaahuma Labbaik, Aku penuhi panggilanMu ya Allah, Aku penuhi panggilanMu. Karena cinta Allah, kita dipanggil. Karena cinta kepada Allah pula kita datang. Apa yang lebih menggairahkan dari panggilan kekasih? Apa yang lebih menyenangkan dari menjawab panggilan kekasih? Apa yang lebih membahagiakan saat "bertemu" kekasih?
Karena ketika kita dipanggil, lalu kita memenuhi panggilan itu, selayaknya terjadi "pertemuan" tersebut. Itulah momentum saat wukuf di Arafah. Karena Wukuf itu berdiam. Sementara Arafah memiliki terjemah saling mengenal, mengakui, dan bertemu. Berdiam untuk bertemu. Perjumpaan. Tawwajuh.
Oleh karenanya, momentum Arafah sewajarnya menjadi luar biasa secara spiritual. Ada yg diam-diam air matanya meleleh, atau mengalir deras. Ada yang menangis terisak, atau tersedu. Ada yang tubuhnya terguncang, atau bergetar hebat, dan lain sebagainya yang sulit dideskripsikan karena sifatnya personal. Kesyahduan tersebut menyeruak karena dalam pertemuan tersebut gambaran kehidupan yang sudah dilalui seperti diputar ulang.
Ingatan terhadap masa lalu, terhadap orang tua, pasangan, anak-anak, perbuatan salah dan dosa, dan lain sebagainya yang membuat kita meminta ampunan kepadaNya. Rasa akan masa kini, saiki-ngene-nang kene (sekarang, seperti ini, di sini) yang membuat kita bersyukur kepadaNya. Harapan untuk masa mendatang (termasuk akhir hayat) yang membuat kita memanjatkan harapan dan doa-doa.
Bentuk kesyahduan lainnya bisa jadi justru tidak ingat apa-apa, dan tidak sempat berdoa apapun, karena saat perjumpaan menjadi menihilkan diri, melebur, manunggaling kawula Gusti, karena yang ada hanya Allah…
Haji itu memang Arafah. Tapi Arafah bukan tujuan haji (termasuk doa-doanya). Sebagaimana Kabah juga bukan tujuan haji. Demikian juga Muzdalifah dan Mina. Semuanya persinggahan sementara. Ketika masih ada tugas duniawi dan spiritual yang harus dilakukan, maka kita harus kembali pada kehidupan sehari-hari. Seperti halnya Nabi Saw masih harus kembali kepada umatnya setelah Mi'raj. Tujuan haji hanyalah Allah. Tawhid.
Wallahu'alam.
KOMENTAR ANDA