Hubungan Indonesia dan Australia yang khas dan kerap digambarkan sebagai hubungan yang “benci tapi rindu” tengah menghadapi tantangan baru di tengah peningkatan ketegangan di Asia dan Pasifik.
Agresifitas Republik Rakyat China (RRC) baik di darat maupun di laut dengan mengklaim perairan Laut China Selatan membangkitkan kehati-hatian di sejumlah negara di kawasan.
Australia adalah yang paling siaga di antara negara-negara Asia Pasifik. Selain menjalin kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat dan Inggris (UK) dalam segitiga AUKUS, Australia juga bergabung dalam Quadrilateral Security Dialogue atau QUAD bersama Amerika Serikat, Jepang, dan India.
Hubungan Indonesia dan Australia juga akan ikut ditentukan oleh idiosinkretik Perdana Menteri Anthony Albanese yang baru berkuasa di negeri kanguru.
Hal-hal yang terkait dengan hubungan Indonesia dan Australia beserta dilema di kawasan ini dibicarakan dalam sebuah simposium yang digelar hari Kamis kemarin (14/7) di Universitas Nasional Jakarta (Unas).
Simposium yang diselenggarakan Pusat Studi Australia Unas tersebut bertajuk “Peluang dan Tantangan Perdana Menteri Baru Australia bagi Indonesia.”
Tampil sebagai pembicara dan narasumber adalah dosen Hubungan Internasional yang juga Kepala Pusat Studi Australia Unas Harry Darmawan, M.Si., dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Dr. Hartanto, dosen Universitas Pertamina Dr.Indra Kusumawardana, dosen Universitas Mulawarman Dr. Sonny Sudiar, dan Marsekal (Purn) Chappy Hakim Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia.
Sementara moderator adalah Dr.Irma Indrayani, S.IP.,M.Si.
Simposium yang berlangsung secara hybrid, baik daring maupun luring itu, diikuti oleh sejumlah mahasiswa dan dosen serta tenaga pengajar FISIP Unas.
“Dinamika perkembangan dunia yang tengah diwarnai berbagai masalah berkait dengan US-China Trade War dan berlangsungnya perang Rusia Ukraina tidak bisa dihindari akan berpengaruh juga kepada hubungan baik antara Australia dan Indonesia,” ujar Marsekal (Purn) Chappy Hakim dalam keterangan kepada redaksi.
Isu AUKUS dengan rencana perkuatan kapal selam bertenaga nuklir Angkatan Laut Australia dan QUAD yang merupakan forum dialog strategis dan eksklusif antara Australia, India, Amerika Serikat dan Jepang tak dapat dihindari pasti akan mengundang pertanyaan besar mengenai apa pengaruhnya terhadap hubungan Indonesia Australia.
“Sejauh ini dengan perbedaan tajam terutama tentang bahasa dan budaya antara Indonesia dengan Australia telah membuat dinamika hubungan kedua negara selama ini selalu saja mengalami pasang surut yang menarik,” ujarnya.
“Sebuah dinamika hubungan antara dua negara yang sesekali sering diberi julukan sebagai hubungan yang benci tapi rindu,” sambungnya.
Dia menambahkan, proses dalam mencoba mengerti antara kedua negara tidak pernah absen dari kecurigaan dan munculnya tandatanya besar.
Menyadari ketidaknyamanan Indonesia dengan munculnya AUKUS dan QUAD telah membuat Perdana Menteri baru Australia berhadapan dengan tantangan baru dalam menjaga hubungan baik Indonesia Australia.
Para pembicara dalam simposium pada umumnya telah mengamati tentang perjalanan sejarah betapa ketika Labor Party yang berkuasa di Australia , maka relatif hubungan kedua negara dapat dikelola dengan lebih baik.
Namun sekarang ini PM Anthony Albanese dari Labor Party yang baru saja duduk dalam kekuasaan berada pada posisi Australia yang tengah memulai pakta AUKUS dan Forum Strategis QUAD.
“AUKUS dan QUAD dapat dikatakan sebagai atau merupakan produk sampingan dari US-China Trade War, perang Rusia Ukraina dan kenaikan suhu di Laut China Selatan,” sambungnya.
Simposium menjadi menarik karena diskusi mengenai kesemua itu memang dihubungkan dengan apa yang akan dilakukan oleh PM Anthony Albanese di masa mendatang.
Bagaimana Australia akan memerankan dirinya di kawasan Pasifik di tengah perkembangan terakhir yang membuat Australia terlihat lebih mengutamakan kepentingan Barat di Pasifik.
“AUKUS dan QUAD cepat atau lambat pasti akan merupakan duri dalam daging hubungan Indonesia Australia,” ujar Chappy Hakim lagi.
KOMENTAR ANDA