Tujuh Perwira Tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen) TNI Angkatan Udara (AU) diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait proses hingga teknis pelaksanaan pengadaan Helikopter Angkut AW-101 tahun 2016-2017.
"Selasa (26/7) bertempat di kantor Puspom TNI AU, tim penyidik telah selesai memeriksa sejumlah saksi," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, Rabu pagi (27/7).
Para saksi yang diperiksa, yaitu Kolonel TEK TNI AU Agus Kamal; Kolonel KAL TNI AU Benni Prabowo; Marsda TNI AU Supriyanto Basuki; Kolonel KAL TNI AU Fransiskus Teguh Santosa; Kolonel TEK TNI AU Hendrison Syafril; Kolonel KAL TNI AU Achsanul Amaly; dan Kolonel KAL TNI AU Muklis.
"Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan proses hingga teknis pelaksanaan dari pengadaan helikopter Angkut AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017," kata Ali seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.
Sementara itu, seorang saksi lainnya, Kolonel LEK TNI AU Andy S. Pambudi tidak hadir dengan alasan sakit.
"Akan dilakukan penjadwalan ulang kembali," pungkas Ali.
KPK secara resmi telah menahan tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias Jhon Irfan Kenway (JIK) selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan selaku pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KGC) pada Selasa (24/5).
Dalam perkara ini, sekitar Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP) sebagai salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland (AW) menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan tersebut membahas pengadaan Helikopter AW 101 VIP/VVIP TNI AU.
Irfan yang juga menjadi salah satu agen Heli AW diduga memberikan proposal harga kepada Syafei dengan harga satu unit Helikopter AW-101 56,4 juta dolar AS. Padahal harga kesepakatan Irfan dengan pihak AW untuk satu unitnya senilai 39,3 juta dolar AS atau setara dengan Rp 514,5 miliar.
Kemudian pada November 2015, panitia pengadaan Helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek. Namun kemudian ditunda karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional.
Lalu pada 2016, pengadaan Helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjut dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti dua perusahaan.
Dalam tahap lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.
Harga penawaran yang diajukan Irfan, masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai 56,4 juta dolar AS dan disetujui oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Irfan juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy (FA) selaku PPK.
Selanjutnya, untuk persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan itu, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.
Untuk proses pembayaran yang diterima Irfan, diduga telah 100 persen. Namun, faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Perbuatan Irfan diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan (Menhan) 17/2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Irfan diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar.
KOMENTAR ANDA