DALAM beberapa dekade terakhir ini "udara" selalu dikenal sebagai menempati posisi ke-3 setelah "daratan" dan "perairan". Kemajuan teknologi telah merubah semuanya dan kini orang mengenal dunia cyber yang telah hadir dan tampil sebagai domain ke-5 setelah daratan, perairan, udara, dan ruang angkasa.
Tidak banyak juga yang menyadari bahwa negara kita ternyata terdiri dari 1 per 3 daratan, 2 per 3 perairan, dan 3 per 3 udara. Ini adalah pernyataan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, pakar hukum udara dan antariksa yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intel.
Menjadi istimewa dan menarik karena ternyata wilayah udara adalah masa depan kehidupan umat manusia, air and space adalah the future of human life.
Di sisi lain, pengelolaan wilayah udara sangat berkait dengan irama kemajuan teknologi kedirgantaraan yang melaju sangat cepat. Hal itu menyebabkan hanya mereka yang memiliki visi dan kecerdasan saja yang dapat melihat udara dan ruang angkasa atau dirgantara sebagai sesuatu yang sangat menjanjikan, manfaat besar bagi kesejahteraan umat manusia, sekaligus mengandung arti penting bagi keamanan nasional. Sering kali disebut bahwa, "air and space contain enormous potential benefit as well as having important value for national security."
Amerika Serikat memiliki catatan kelam dalam mengelola wilayah udara kedaulatannya. Wilayah udara kedaulatan yang menjanjikan manfaat besar bagi kesejahteraan dan melekat langsung dengan masalah keamanan nasional. Hal itu ditandai dari catatan sejarah yang menunjukkan AS mengalami “repeated surprise air attack” atau dua kali mengalami serangan mendadak melalui wilayah udara kedaulatannya.
Amerika Serikat mengalami serangan mendadak dari divisi udara Angkatan Laut Kerajaan Jepang terhadap Pearl Harbor di tahun 1941. Berikutnya, 60 tahun kemudian, kelompok teroris meruntuhkan Menara Kembar di New York dan menyerang gedung Pentagon menggunakan pesawat terbang sipil komersial rute domestik yang dikenal dengan tragedi 9/11 pada tahun 2001. Padahal Amerika Serikat terkenal dengan kekuatan perangnya yang global vigilance, global reach, global power.
Agak berbeda dengan Amerika Serikat, Kerajaan Inggris sudah sejak awal abad ke-20 telah melihat wilayah udara sebagai wilayah yang menjanjikan bagi kesejahteraan dan sekaligus sangat penting bagi aspek keamanan nasional.
Angkatan Udara Inggris RAF adalah Angkatan Udara tertua di dunia yang berdiri sendiri sejajar dengan AD dan AL, sebagai Angkatan Udara yang well established dan well organized, mapan dan terorganisasi dengan baik. Inggris tidak merasa cukup sejak abad ke-15 dengan jargonnya "Great Britain rules the waves", Inggris Britania yang menguasai samudera.
Inggris Raya memasuki abad 20 dengan mengembangkan penguasaan wilayah udara dengan membangun Angkatan Udara Kerajaan pada tahun 1918, hanya 15 tahun sejak pesawat terbang mengudara untuk pertama kalinya. Itu sebabnya, maka pada tahun 1940, Jerman gagal dan kalah dalam perang udara saat ingin melakukan invasi untuk menduduki Inggris.
Perang udara yang terkenal dengan nama Battle of Britain itu telah menjadi satu-satunya perang udara dalam catatan sejarah yang dimenangkan oleh pihak yang di serang atau bertahan.
RAF di tahun 1940 telah mapan sebagai sebuah Angkatan Udara yang profesional dan telah berhasil menerapkan penggunaan radar pertahanan udara dalam menata taktik dan strategi menghadapi serangan udara Luftwaffe Angkatan Udara Jerman.
Tidak itu saja, Inggris di tahun 1940-an telah juga berusaha keras menguasai wilayah udara di sekitaran kawasan teritori jajahannya di Singapura walau bukan merupakan miliknya. Sudah sejak tahun 1948 Inggris telah berhasil menjadi penguasa wilayah udara di atas perairan Selat Malaka walaupun bukan merupakan wilayah teritori miliknya.
Inggris sangat menyadari wilayah jajahannya, Singapura, sangat sempit dan tentu saja memerlukan ruang gerak yang lebih luas dengan menguasai wilayah udara di daerah sekitarnya walaupun bukan merupakan wilayah kedaulatannya.
Visi dan kecerdasaan Inggris sudah sejak awal melihat bahwa wilayah udara atau air and space sebagai wilayah yang menjanjikan bagi kesejahteraan bangsa dan sekaligus sangat penting dalam aspek pengelolaan keamanan nasional.
Itu sebabnya sampai dengan saat ini Republik Singapura tetap berusaha dan berhasil meneruskan warisan kolonial Inggris dalam mempertahankan penguasaan wilayah udara strategis di kawasan perairan Selat Malaka, jauh sampai keluar wilayah teritori kedaulatan negaranya.
"Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak," kata pepatah. Realitanya, di abad ke-21 ini, Singapura dalam upaya mempertahakan penguasaan wilayah udara di luar teritorinya, meneruskan eksistensi otoritas penerbangan kolonial Inggris, justru baru saja memperoleh lucky draw berupa paket hemat 25 tahun plus plus dari tetangga dekatnya yang "amat sangat baik hati”.
Sebagai penutup, ada sebuah quote yang menarik berbunyi: ”A high standard of living, a rich culture, spiritual, political and economic independence……..is not possible without full aerial control."
Itulah sejarah kehidupan yang memang akan selalu penuh dengan persaingan ketat antarnegara, namun akan selalu dimenangkan oleh mereka yang memiliki visi dan kecerdasan, bukan atau tidak ditentukan oleh negara besar atau negara kecil. Itulah goresan sejarah dalam menyongsong abad kedirgantaraan, the future of human life.
Ke depan, dengan kemajuan teknologi yang jauh lebih maju lagi, antara lain dengan fenomena cyber world, maka dipastikan rujukan geo strategi sudah tidak memadai lagi. Menyongsong masa depan rujukan yang akan menjadi jauh lebih penting untuk dipertimbangkan adalah Aero Strategi! Pada titik ini maka sekali lagi kuncinya adalah Vision dan Intelligence.
*Penulis adalah Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005
KOMENTAR ANDA