Oleh: Moh. Samsul Arifin, Pemerhati Sepak Bola
SEANDAINYA ukuran "Garuda Mendunia" adalah banyaknya pemain tim nasional senior Indonesia yang merumput di kompetisi atau liga di luar negeri. Iya seandainya itu indikatornya, sangat absah jika 27 pemain yang dipanggil oleh Patrick Kluivert untuk melakoni laga kontra Australia dan Bahrain di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, 20 dan 25 Maret mendatang, diklaim sebagai garuda yang mendunia.
Data menunjukkan, 18 pemain timnas bermain di luar negeri, terbanyak di Eropa, wabilkhusus Belanda--tanah air sang pelatih. Cuma sembilan pemain yang bermain di liga domestik, Liga 1 BRI. Mayoritas adalah pemain yang memegang paspor Indonesia setelah mengikuti naturalisasi. Sebuah program yang digeber Erick Thohir setelah terpilih menjadi ketua umum PSSI lewat kongres luar biasa, 16 Februari 2023.
Dari 27 pesepak bola yang terpanggil, 16 pemain adalah hasil naturalisasi. Jumlah itu bakal bertambah karena tiga pemain teranyar, Emiliano Audero, Dean Ruben James serta Joey Mathijs Pelupessy, sudah mengantongi status warga negara Indonesia (WNI). Ini bakal bikin Kluivert, yang menceploskan satu gol Belanda ke gawang Brasil di semifinal Piala Dunia 1998, lebih pusing dalam memilih 23 pemain yang akan didaftarkan ke FIFA. Tapi, sangat dapat diduga, pemain yang main di liga domestik akan "kalah".
Hari begini masih omon-omon naturalisasi. Memang masih relevan?
Persetujuan terhadapnya sama valid dengan gugatan kepadanya. Naturalisasi pemain untuk tim nasional adalah diskusi terbuka dan tidak pernah final. Siapa pun boleh melancarkan kritik--terlebih Erick Thohir kebablasan dalam naturalisasi ini. PSSI-1 seolah-olah diberi cek kosong dan disediakan jalan tol untuk mencari sekian banyak pemain berdarah Indonesia di Eropa untuk bermain dengan bendera Indonesia. Pemerintah oke-oke saja. DPR kadang sedikit gaduh, tapi ujungnya "monggo-monggo", termasuk ketika seorang musisi yang masuk Senayan (menjadi wakil rakyat) mencetuskan ide kontroversial tentang naturalisasi.
Jangan tanya suara pecinta bola nasional! Dan jika itu terpaksa diwakili suara netizen di media sosial, hukum Erick untuk bikin "Garuda Mendunia" diamini tanpa catatan yang cukup. Sokongan penuh untuk naturalisasi dinikmati ketua PSSI (yang merangkap menteri BUMN) sejak akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo, dan berlanjut di masa awal Presiden Prabowo Subianto. Semua seolah berseru, "Lanjutkan naturalisasi. Undang mereka yang piawai main bola di Eropa sana untuk menyesaki timnas Indonesia. Beri status WNI. Gampang."
Naturalisasi hal lumrah, senafas dengan globalisme. Lagi pula FIFA tidak mengharamkannya. Bukankah "tuah naturalisasi" telah bikin timnas U-23 Indonesia masuk semifinal Piala Asia kelompok usia 23 tahun pada 2024 lalu? Bukankah itu membuat Shin Tae-yong hampir saja mengantar sepak bola Indonesia ke panggung Olimpiade Paris 2024?
Tapi, euforia itu bertemu kenyataan pahit. Dalam tiga kali kesempatan menyegel tiket Olimpiade Paris, pasukan STY terus-menerus kalah. Terakhir, satu tiket tersisa dirampas Guinea saat negara dari benua Afrika itu menyikut Rizky Ridho dan kawan-kawan, 1-0. STY nyaris menerbangkan Indonesia ke Paris, dan hingga dipecat sebagai pelatih timnas, pelatih berkebangsaan Korea Selatan itu berstatus pelatih yang nyaris berprestasi atau sukses. Ini jika indikatornya trofi atau gelar juara.
Untuk soal ini, Indra Sjafri lebih jago: Mampu memberi gelar juara atau medali emas di SEA Games 2023. Sebuah tonggak yang memaksa kita harus bilang: Era Erick Thohir pernah berbuah manis dengan mengembalikan pamor bola Indonesia di Asia Tenggara. Tonggak yang memutus puasa prestasi Indonesia selama 32 tahun.
Meski STY gagal, naturalisasi dianggap paling cepat untuk bikin "Garuda Mendunia". Negeri kita menjadi satu-satunya negara dari Asia Tenggara yang lolos putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Indonesia tergabung di grup C bareng Jepang, Australia, Arab Saudi, Bahrain dan Cina. Dan sssttt meski langganan dan kerap maju ke putaran final Piala Dunia, Jepang, Australia dan Arab Saudi tidak "gila naturalisasi". Australia melakukannya, tapi tidak kebablasan. Satu lagi, secara ekonomi, lima negara pesaing itu lebih kaya dan makmur dibandingkan Indonesia, namun tidak tergoda dan teperdaya untuk "membeli" tiket putaran final Piala Dunia 2026 dengan program naturalisasi yang terlampau meletup-letup.
Soko guru lima negara itu tetap kompetisi atau liga domestik. Jepang bukan saja sukses dengan kompetisi domestik, J. League, tapi mengirim para pemainnya mengembara ke kompetisi sepak bola di daratan Eropa. Bukan kebetulan jika lima pemain anggota skuad Jepang yang dibawa ke Gelora Bung Karno, Jakarta dan meremukkan Indonesia, 4-0, main di Liga Premier Inggris. Kini, timnas dari negeri matahari terbit itu bercokol di peringkat pertama grup C dan berpeluang menjadi tim yang lolos langsung ke Piala Dunia 2026 yang digelar di Amerika Serikat, Meksiko dan Kanada. Indonesia ada di peringkat ketiga dan bisa juga lolos langsung bila sanggup menyikut Australia, Bahrain dan China. Arab Saudi pernah terkapar di tangan Garuda di GBK ketika dua gol Marselino Ferdinan merobek gawang tim petrodolar itu.
Lalu, di mana urgensi kompetisi domestik, Liga 1, dalam menghasilkan pemain timnas yang berkualitas dalam program "Garuda Mendunia" yang dicanangkan Erick Thohir? Pertanyaan ini selalu mengetuk pintu setiap kali mendapati program naturalisasi dilancarkan dengan gigi "empat dan lima" oleh PSSI.
Bahkan, skuad Prancis di Piala Dunia 1998 yang bertabur bintang pemain keturunan dari banyak bangsa (nation), tidak diracik dengan naturalisasi model PSSI saat ini. Mereka rata-rata berasal dan lahir dari orangtua yang migrasi ke Prancis. Orangtua Zinedine Zidane, adalah warga Aljazair yang pindah ke Prancis sewaktu negerinya dikoyak revolusi tahun 1954 (tempo.co, 23 Juni 2021). Zizou lahir di Marseille, Prancis, 23 Juni 1972, sekitar 26 tahun sebelum memberi trofi Piala Dunia pertama kepada Prancis.
Marcel Desailly, bek tengah keren anggota skuad emas Prancis 1998, lahir di Accra, Ghana pada 27 September 1968 (goal, 27 Maret 2017). Desailly menjadi Prancis setelah sang ibu menikahi seorang diplomat Prancis dan pindah ke negara yang mengagungkan "liberte, egalite, fraternite" itu pada 1972. Kelak Desailly yang telah menjadi begitu Prancis membela timnas negeri itu. Jadi, tim multikultural Prancis sama sekali tidak dibentuk secara instan.
Cetak biru "Garuda Mendunia 2045" yang dipaparkan Erick Thohir dalam rapat dengan Komisi X DPR dan Kementerian Pemuda dan Olahraga di gedung DPR, Jakarta, 5 Maret lalu, bukan hal baru. Ini sudah diluncurkan dua tahun silam. Yang baru adalah penekanan serta perincian dari blue print tadi.
Untuk mewujudkannya, target 2045 itu dibagi dalam tiga fase. Pertama, periode 2023-2028 sebagai fase pengembangan. Kedua, fase stabilitas pada 2028-2034. Serta ketiga, fase golden era pada 2034-2045. Erick tak hanya bicara timnas pria, tapi juga timnas wanita serta menjangkau level kelompok umur. Dengan tiga fase tadi, PSSI memburu target masuk Piala Dunia 2038 dan menembus peringkat 45 FIFA saat negeri kita berusia 100 tahun pada 2045.
Saat terpilih sebagai ketua umum PSSI, Erick mendapat mandat untuk memimpin organisasi selama empat tahun dari 2023-2027. Jadi, PSSI harus dinakhodai Erick, setidaknya hingga dua periode, agar "Garuda Mendunia 2045" dapat dikawal dengan lebih baik.
Kalau benar, 2023-2028 adalah fase pengembangan, mengapa Erick gencar melakukan naturalisasi? Mengapa ia malah memilih jalan pintas itu ketimbang membangun kompetisi yang bagus serta pembinaan bibit pemain menurut kelompok umur? Apa yang membuatnya begitu pragmatis sehingga ngebut masuk putaran final Piala Dunia 2026? Apakah ini yang dimaksud transformasi sepak bola nasional? Apakah ini suasana batin sepak bola domestik yang sempat mencapai titik nadir tatkala meletus tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 nyawa suporter Arema?
Naturalisasi mungkin bukan hal yang tabu, apalagi haram, tapi mengobral status kewarganegaraan (WNI) demi mendapatkan pemain berbakat, berkualitas dan sesuai kebutuhan, rasanya konyol. Saya teringat dan tak bisa melupakan Presiden Asosiasi Sepak Bola Singapura (FAS), Bernard Tan. Dia tidak menolak naturalisasi pemain untuk kepentingan timnas Singapura, tapi Tan emoh tergelincir pada hal yang banal.
"Kami tidak memberikan kewarganegaraan karena sepak bola, tapi kami menerima pemain sepak bola karena mereka ingin menjadi warga negara Singapura," ujar Tan pedas saat Kongres FAS seperti dilaporkan The Straits Times, 17 September 2024.
Dengan kata lain, Tan ingin bicara: Menggenggam nyala api kebangsaan atau nasionalisme Singapura itu lebih pokok, utama dan harus mengawali proses naturalisasi. Naturalisasi tidak sama atau turun derajat menjadi "mengobral" kewarganegaraan (status warga negara Singapura) kepada pemain sepak bola. Mungkinkah kalimat ini sekadar pernyataan atas nilai yang dipegang FAS dan Singapura? Mungkin iya, tapi boleh jadi tidak. Yang jelas, kalimat Tan itu menohok saya hingga ke ulu hati.
Seandainya naturalisasi pemain untuk timnas Indonesia dianggap sebagai tendangan Erick, sebagian pecinta bola nasional berharap tendangan itu masuk gawang atau gol, alias berbuah tiket Piala Dunia 2026. Jangan sampai bernasib serupa dengan tendangan pemain Italia, Roberto Baggio saat babak adu penalti di final Piala Dunia 1994 yang melambung ke langit. Mimpi Italia kandas, adapun Brasil berpesta, jawara dunia lagi.
KOMENTAR ANDA