post image
Chappy Hakim
KOMENTAR

SELAMA lebih dari dua dekade pascareformasi, demokrasi di Indonesia berkembang secara prosedural, namun kerap melupakan aspek substantif yang menyangkut pelayanan publik strategis bagi rakyat dan negara. Salah satu sektor yang paling terabaikan adalah pelayanan jasa perhubungan udara—sebuah infrastruktur vital yang seharusnya menjadi instrumen negara dalam menjamin konektivitas, integrasi nasional, serta kedaulatan negara dalam keadaan darurat.

Di tengah semaraknya pesta demokrasi lima tahunan, perhatian elite politik Indonesia lebih banyak tercurah dan terbelengu pada perhelatan elektoral, terutama pemilihan presiden dan legislatif. Pilpres dan pemilu menjadi panggung utama yang menyita sumber daya, energi, dan fokus para pengambil kebijakan.

Akibatnya, banyak isu strategis jangka panjang seperti pengelolaan transportasi udara nasional dan industri penerbangan cenderung terpinggirkan dari agenda pembangunan nasional. Fenomena ini sejalan dengan kritik para ilmuwan politik bahwa demokrasi elektoral sering kali menciptakan "short-termism" dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.1

Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, kita menyaksikan kejatuhan maskapai-maskapai penerbangan milik negara antara lain  Pelita Air, Merpati Nusantara Airlines, dan terakhir Garuda Indonesia yang kini telah kehilangan kendali negara dan nyaris sepenuhnya dikelola oleh kelompok manajemen berasal dari pengusaha swasta, dalam hal ini Grup Lion Air.

Situasi ini mencerminkan kemunduran serius dalam manajemen pelayanan publik strategis yang semestinya tidak tunduk pada mekanisme pasar semata. Negara, yang di era Orde Baru memahami pentingnya menguasai moda transportasi udara sebagai bagian dari infrastruktur strategis nasional, kini justru menyerah tanpa perlawanan kepada liberalisasi ekonomi yang tidak memiliki kepedulian terhadap aspek pertahanan dan keamanan negara.2

Padahal, dalam kondisi darurat seperti perang, bencana alam skala besar, atau evakuasi massal akibat wabah dan krisis, negara membutuhkan armada udara yang dapat dimobilisasi secara cepat dan efisien. Ketika maskapai-maskapai utama berada di bawah kendali swasta, negara kehilangan alat vital untuk bertindak cepat dan tepat dalam situasi genting. Tidak ada jaminan bahwa maskapai-maskapai swasta akan memprioritaskan kepentingan negara apabila terjadi konflik kepentingan antara keselamatan nasional dan keuntungan korporasi.3

Belum lagi bila kita berbicara tentang tata kelola administrasi pemerintahan yang sangat tergantung kepada jejaring perhubungan udara dalam menghadapi lokasi lokasi penting di pedalaman jauhdari fasilitas transportasi konvensional.

Situasi ini seharusnya menjadi perhatian serius dalam demokrasi Indonesia yang sejati. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu dan pergantian kekuasaan secara berkala, melainkan juga tentang kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak dasar warga dan menjamin keberlangsungan negara bangsa. Termasuk di dalamnya adalah tanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan jasa perhubungan udara yang aman, merata, dan berpihak pada kepentingan nasional. 

Perlu diingat bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang sangat luas dan banyak pegunungan pada kawasan kawasan tertentu.

Idealnya, negara memiliki setidaknya empat maskapai penerbangan yang dikendalikan dan dikelola oleh pemerintah atau BUMN dengan mandat strategis, yaitu: (1) maskapai yang melayani rute-rute domestik utama antar kota besar, (2) maskapai yang melayani rute-rute internasional dengan fokus pada jemaah umrah dan haji, (3) maskapai perintis yang menjangkau wilayah-wilayah terluar dan tertinggal, serta (4) maskapai kargo dan charter untuk kebutuhan logistik strategis, baik komersial maupun militer. Keempat jenis maskapai ini bukan hanya soal bisnis, melainkan instrumen politik udara nasional yang tak tergantikan oleh entitas swasta.  Sebuah entitas yang sejatinya menjadi tugas utama pemerintah sebuah negara.

Secara ekonomi, rute-rute gemuk domestik seperti Jakarta-Makassar, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Surabaya, serta rute-rute ibadah ke Arab Saudi adalah ladang emas yang menghasilkan keuntungan luar biasa. Ironisnya, ladang emas ini kini dimonopoli oleh entitas non-negara, tanpa kontribusi berarti terhadap kas negara. Dalam rezim demokrasi yang sehat, sektor-sektor strategis yang menghasilkan surplus ekonomi semestinya dikuasai negara demi kesejahteraan bersama, bukan dikuasai segelintir konglomerat atas nama efisiensi pasar.4 Hal ini adalah sesuai dengan amanat konstitusi tentang pengelolaan Sumber Daya Alam.

Lebih jauh, ketiadaan kontrol negara atas angkutan udara juga membuka potensi ancaman dari sisi kedaulatan. Dalam skenario konflik terbuka atau ancaman non-konvensional, negara akan menghadapi hambatan logistik yang luar biasa bila tidak memiliki armada udara sendiri yang dapat digerakkan seketika tanpa tergantung pada persetujuan pemilik swasta. Hal ini membahayakan keamanan nasional dan memperlemah postur pertahanan negara.5

Kondisi ini seharusnya mendorong evaluasi ulang terhadap arah kebijakan transportasi udara nasional. Sudah saatnya pemerintah, dengan dukungan DPR dan partisipasi publik, menyusun kembali grand strategy perhubungan udara yang berpijak pada prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan pelayanan publik. Kebijakan ini harus mencakup pendirian kembali maskapai nasional milik negara yang terpisah dari logika murni korporasi, serta menata ulang regulasi yang selama ini terlalu permisif terhadap dominasi swasta.

Demokrasi yang sehat tidak membiarkan negara kehilangan kendali atas infrastruktur strategisnya. Demokrasi sejati adalah ketika negara hadir dalam memastikan bahwa langit Indonesia bukan hanya ruang ekonomi bebas, tetapi juga ruang kedaulatan yang dijaga dengan penuh tanggung jawab.
 
Catatan Kaki:

1Aspinall, E. & Mietzner, M. (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
2Chappy Hakim. (2013). Menyibak Tabir Dunia Penerbangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3Suryadinata, L. (2005). Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: ISEAS.
4Pigeaud, J. (2018). Airlines and Nation-Building: The Role of National Airlines in the Development of Southeast Asia. Journal of Transport History, 39(2), 211-229.
5Adler, E. (2008). Security Communities and Their Institutions: The Role of the Military. International Organization, 62(3), 569–602.


Kedaulatan Negara di Udara: Hukum Internasional dan Keamanan Nasional

Sebelumnya

Negatifnya Polemik RUU TNI: Ancaman Kembalinya Dwifungsi terhadap Demokrasi Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Chappy Hakim