Auman dua jet tempur Chengdu J-20 milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Republik Rakyat China (RRC) merobek-robek langit Zhuhai, kawasan di selatan Republik Rakyat China (RRC). Kedua J-20 meliuk-liuk di angkasa dengan indah.
Ribuan penonton yang memadati China International Aviation & Aerospace Exhibition, sekitar 56 kilometer sebelah barat Hong Kong, takjub dan terkesima. Berbagai laporan menyebutkan, kehebatan Tim Aerobatik Bayi milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) RRC membuat kedua J-20 tampak semakin perkasa di angkasa.
Kemarin (1/11) adalah penampilan pertama J-20 di depan publik internasional. Pesawat dengan kemampuan susup-siluman, menghindari radar lawan dan berdaya jelajah jauh itu diterbangkan pertama kali lima tahun lalu secara tertutup dan rahasia.
Sebetulnya J-20 pun sempat dipamerkan pada bulan November 2014 di tempat yang sama. Tetapi kala itu, publik internasional lebih memperhatikan Shenyang J-31.
Baik J-20 dan J-31 adalah produksi Chengdu Aircraft Industries Group yang dimiliki Aviation Industry Corporation of China (AVIC).
Secara umum spesifikasi kedua jenis pesawat ini sama. Badan J-20 lebih besar dibandingkan J-31 dan memiliki kemampuan-kemampuan lain yang masih belum disebutkan.
Media Amerika Serikat, seperti CNN mengatakan, J-20 tampaknya adalah jawaban yang diberikan China untuk menyambut kehadiran dua jenis jet tempur F-22 Raptor dan F-35 Lightning II buatan buatan Lockheed Martin yang akan memperkuat pangkalan militer Iwakuni di Pasifik, hanya sepelemparan batu dari Laut China Timur, pada awal tahun depan.
Pasukan Bela Diri Jepang telah memesan sejumlah F-35 dan bulan September yang lalu, beberapa unit pesawat itu sudah selesai diproduksi dan tinggal menunggu pengerahan ke pusat ketegangan. Bersama dengan pemaknaan baru atas Pasal 9 Konstitusi Jepang, tentu armada F-22 dan F-35 patut menjadi faktor yang harus diperhitungkan China.
Seminggu sebelum penampilan J-20 itu, Jurubicara Angkatan Udara TPR Kolonel Senior Shen Jinke memastikan bahwa jet tempur yang akan mereka perlihatkan “dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pertempuran di masa depan”.
Kemampuan pesawat-pesawat tempur China, katanya lagi, akan terus dikembangkan agar Angkatan Udara TPR dapat menjalankan “misi suci menjaga kedaulatan nasional, keamanan dan integritas teritori.”
China mengklaim, pesawat tempur buatan mereka J-20 dan J-31 juga mengadopsi teknologi generasi 5.0 seperti yang dimiliki F-22 dan F-35.
Bagi Amerika Serikat J-20 dan cerita tentang ambisi dirgantara China bukan barang baru. Tampaknya, serapat apapun China menutupi proyek dirgantara mereka, Amerika Serikat selalu punya cara untuk mengintipnya.
Bulan Agustus lalu, seperti saya baca dari CNN pagi ini, petinggi Angkatan Udara AS sudah memberikan kometar tentang J-20. Komentarnya datar saja. Tak ada nada yang memperlihatkan bahwa mereka menganggap J-20 dan teknologi dirgantara yang dimiliki China sebagai ancaman atau setidaknya saingan yang mengkhawatirkan.
“Tidak relevan membandingkan F-35 dan J-20,” kata Kepala Staf Angkatan Udara AS Jenderal David Goldfein.
Bagaimana pun juga teknologi dirgantara yang digunakan Amerika Serikat lebih unggul dan terintegrasi dengan sistem persenjataan lain yang dimiliki Amerika Serikat.
Adapun teknologi yang digunakan J-20 sudah kuno dan ketinggalan; disamakannya dengan teknologi yang digunakan AS untuk pesawat-pesawat tempur F-117A yang diterbangkan pertama kali di era 1980an.
Asal tahu saja, di Amerika Serikat, teknologi itu sudah ditinggalkan.
Sampai disini saya teringat pada kunjungan kami, delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke Korea Selatan, dua pekan lalu. Ini adalah kunjungan persahabatan atas undangan Asosiasi Jurnalis Korea (JAK).
Delegasi PWI terdiri dari 10 ketua PWI di daerah dan tiga pengurus PWI Pusat.
Sepuluh ketua PWI daerah itu adalah Firdaus Z. Dahlan (Banten), Tarmilin Usman (Aceh), Amir Machmud (Jawa Tengah), Basril Basyar (Sumatera Barat), Mursyid Yusmar (Jambi), IGM Bang Dwikora (Bali), Mirza Z. Nachli (Jawa Barat), Endo S. Effendi (Kalimantan Timur), Ramon Damora (Kepulauan Riau) dan Zacky Antoni (Bengkulu).
Adapun tiga pengurus PWI Pusat, selain saya, adalah Ketua bidang Daerah Atal S. Depari yang menjadi pimpinan rombongan dan Direktur Isu Publik Agus Sudibyo.
Selama di Korea Selatan kami mengujungi sejumlah industri berlevel strategis, seperti industri air minum Samdasoo di Pulau Jeju yang indah dan industri alat-alat berat dan konstruksi Doosan di Changwon.
Tempat lain yang kami kunjungi dan punya hubungan langsung dengan tulisan ini adalah Korea Aerospace Industries (KAI) di Sacheon.
Di KAI kami disambut oleh salah seorang Direktur Pelaksana KAI, Lee Dong Shin, dan beberapa stafnya. Di lobi KAI, mereka dengan begitu bersemangat menjelaskan satu persatu miniatur pesawat yang telah mereka produksi. Lalu kami dibawa ke ruang tunggu tamu. Di atas meja, juga ada miniatur pesawat-pesawat produksi KAI dalam ukuran yang lebih kecil. Selain miniatur pesawat, di atas meja itu juga ada miniatur satelit Arirang yang juga produksi KAI.
KOMENTAR ANDA