post image
KOMENTAR

TAHUN 2017 lalu, maskapai kebanggan Garuda Indonesia mencatat kerugian sebesar Rp 2,8 triliun. Sebuah angka kerugian yang sangat masif.

Dan di tiga bulan pertama 2018 ini, Garuda sudah rugi Rp 868 milyar. Kalau tren berlanjut, dalam setahun akan rugi sekitar Rp 2,4 triliun lebih.

Dan jangan lupa, total utang (liabilities) Garuda Indonesia sudah mencapai Rp 42 triliun, sebuah angka utang yang agak mengerikan.

Dua tahun berturut-turut mengalami pendarahan, sementara utang menggunung, maka sayap-sayap sang burung Garuda makin terluka parah menanggung beban.

Lalu mendadak ada berita 1300 pilot Garuda ancam melakukan pemogokan di saat puncak arus mudik lebaran kali ini. Mereka tidak puas dengan kinerja direksi dan makin galau Garuda rugi terus akibat mis-manajemen. Alamakkk.

Posisi utang Garuda yang Rp 42 triliun merupakan beban yang amat berat. 90% pakai dollar. Maka beban makin terjal saat rupiah kian merosot nilainya.

Jika bunga utang hanya 5% saja, maka mereka harus mengeluarkan Rp 2,1 triliun per tahun hanya untuk bayar bunganya saja. Belum bayar utang pokoknya lho.

Maka saat ini Garuda sudah terjebak gali lubang tutup lubang. Mereka rutin mengeluarkan surat utang baru (obligasi) untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. Sebuah praktek keuangan yang sangat tidak sehat, dan menjurus pada kegagalan bayar utang (default).

Layak diingat, bisnis airline memang sejatinya bukan bisnis yang asyik. High cost terutama biaya beli pesawat dan beban biaya avtur yang selangit (harga minyak sangat fluktuatif dan susah ditebak).

Potensi in-efisiensi juga amat tinggi karena banyak faktor eksternal (misal : antri mendarat gara-gara bandara penuh. Antri di udara itu buang uang ratusan juta per sekali terbang).

Lalu margin keuntungan tidak banyak-banyak amat. Ditambah persaingan amatlah ketat.

Tak heran, jika sudah banyak airline di luar negeri yang bangkrut.

Lalu apakah Garuda juga akan mengalami kebangkrutan, menyusul seperti Merpati yang duluan mati?

Berikut sejumlah langkah yang mungkin bisa menjadi Solusi agar Garuda Indonesia keluar dari ancaman kematian yang penuh duka.

Solusi 1: Restrukturisasi Rute dan Pesawat

Para analis bisnis airline menyebut, nasib sebuah airline itu amat ditentukan oleh keputusan kunci dalam hal pembelian pesawat (jenis apa yang akan dibeli) dan rute apa yang akan dijalani.

Dalam Fleet Plan ini, Garuda Indonesia melakukan kesalahan fatal. Sejumlah pembelian pesawat ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan yang optimal.

Misalnya melakukan pembelian pesawat wide body untuk rute Jakarta menuju Eropa yang tidak menguntungkan. Beli pesawatanya mahal banget, namun penumpang kosong. Ini benar-benar memberikan beban biaya yang sangat signifikan.

Atau melakukan pembelian puluhan pesawat Bombardier yang ternyata tidak efisien, dan malah bikin rugi saat dioperasikan (sebab biaya operasional lebih mahal daripada tiket pemasukan).

Yang muram : pembelian puluhan pesawat itu dibiayai dengan hutang. Saat pembeliannya blunder, maka akibatnya amat fatal.

Pelajarannya: strategic decision making ternyata merupakan pilar koentji. Saat salah mengambil keputusan yang krusial, maka bisnis Anda bisa nyungsep karenanya.

Solusinya, segera hapus rute-rute yang tidak menguntungkan. Sebaiknya Garuda fokus saja ke penerbangan domestik dan regional (ASEAN, Jepang, China, dan Arab Saudi saja). Tidak perlu terbang ke Eropa yang rugi.

Pesawat long houl jurusan Eropa yang sudah telanjur dibeli, mungkin bisa dialihkan untuk rute Jakarta ke Saudi, dan frekuensi penerbangan Umroh dinaikkan (ini rute yang gemuk dan menguntungkan).

Strategi Optimalisasi Pesawat yang sudah telanjur dibeli dengan hutang ini merupakan kunci penyelamatan Garuda Indonesia. Kalau tahapan ini gagal dilakukan, Garuda akan terus mengalami kerugian yang masif.


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel AviaNews