Cari lagi.
Kian sulit.
Pabrik-pabrik sepeda mulai mensomasinya. Akhir tahun lalu semua jalan menjadi buntu. Bagi Ofo. Operasionalnya tersendat. Banyak sepeda ditarik oleh pemilik pabrik. Jumlah Ofo di jalan-jalan kian sedikit. Lalu nyaris lenyap.
Muncul tuntutan baru: dari pelanggan Ofo. Yang sudah menaruh deposito di Apps Ofo. Mereka minta sisa uang bisa kembali. Yang masih di deposito itu. Kan tidak bisa digunakan lagi. Ofo-nya sudah raib dari jalan-jalan.
Padahal ada 12 juta orang yang menempatkan deposito di Ofo. Masing-masing sekitar Rp 150.000. Kalau ditotal banyak juga: hampir Rp 2 triliun.
Tidak ada uang untuk mengembalikannya. Kas Ofo kosong. Kering.
Padahal janjinya mudah: uang itu bisa diambil kapan saja. Cukup ambil dari Apps.
Lalu ada berita di medsos. Bagi yang datang langsung ke kantor Ofo di Beijing akan dibayar. Maka membanjirlah mereka. Memenuhi kantor pusat Ofo di Beijing itu.
Tidak ada uang.
Perusahaan bernilai Rp 30 triliun ini tidak punya uang. Dan ternyata juga tidak punya aset. Khas perusahaan startup. Yang mengandalkan jumlah pelanggan. Dan kebesaran network. Sebagai asetnya.
Ofo juga khas perusahaan startup: berani bakar uang di depan. Bermilyar-milyar. Bertriliun-triliun. Dengan harapan hasil yang jauh lebih besar. Kalau berhasil.
Tapi mengapa Ofo begitu cepat ambruk?
Besok disway masih tetap terbit. Paling tidak minggu depan. Sumpah!
KOMENTAR ANDA