post image
KOMENTAR

Untuk ukuran saya saja masih merasa mahal. Apalagi untuk umum. Entahlah, mungkin saya yang salah sikap. Meski bukan orang keuangan saya sudah tertular untuk punya 'sikap keuangan'.

Mungkin juga karena Citilink punya konsultan yang hebat. Yang tahu cara menghitung pendapatan masa depan. Terutama pendapatan dari sektor wifi. Mungkin saja mereka punya data penggunaan wifi di dalam pesawat di negara lain.

Atau ada jenis kontrak yang lebih istimewa. Yang lebih pasti. Bagi Citilink. Misalnya: kontrak dengan sistem take or pay. Perusahaan swasta itu diwajibkan membayar Rp 2 triliun. Selama 10 tahun. Tidak peduli berapa pun yang menggunakan wifi. Resiko ada di pihak swasta itu. Kalau rugi. Durian runtuh juga milik swasta itu. Kalau untung.

Belum sampai selesai membuat perkiraan, saya keburu membaca berita baru: kerjasama itu dibatalkan.

Ya, sudah.

Tetap saja saya mengakui. Ahli keuangan itu hebat. Bisa membuat perusahaan rugi menjadi kelihatan laba. Ia yang mencarikan jalannya. Caranya. Taktiknya.

Ialah yang mencarikan bedak dan gincunya.

Bagi seorang yang punya 'sikap keuangan' tidak akan mau melakukan itu. Ia justru akan mengingatkan atasannya. Mengenai resiko bagi perusahaan. Kalau hal seperti itu dilakukan.

Ada beberapa motif yang biasanya melatarbelakangi.

Untuk perusahaan publik, kepintaran seperti itu semata-mata untuk menipu pasar. Agar harga sahamnya naik.

Untuk sebuah perusahaan negara bisa karena sikap asal bapak senang. Atau alasan politik.

Untuk manajemen, bisa karena mengejar bonus. Laba besar berarti bonus besar.

Garuda adalah perusahaan publik, milik negara, dan memiliki sistem bonus (tantiem) untuk manajemennya.

Di swasta juga dikenal bonus. Juga dilihat dari besarnya laba. Tapi 'laba' tidak sama dengan 'laba'. Ada laba dengan kualitas baik. Ada pula laba yang kualitasnya tidak baik.

Laba yang kualitasnya rendah tadi sering saya sebut sebagai 'laba yang penuh lemak dan kolesterol'.

Kelihatannya saja laba. Tapi justru bisa mematikan.

Salah satu kolesterol itu adalah 'piutang'. Terutama 'piutang ragu-ragu'. Yang belum tentu bisa benar-benar menjadi pendapatan.

Bisa saja tiba-tiba orangnya meninggal. Atau bangkrut. Atau justru menggugat.

Bisa juga alasan administrasi: fakturnya salah, bunyi kontraknya tidak jelas, atau tagihannya tidak sampai.

Piutang itu bermuara ke laba. Laba menjadi sumber pajak dan bonus. Atau menjadi dasar kenaikan gaji.

Pajak sudah dibayar. Bonus sudah dibayar. Gaji sudah dinaikkan.

Pendapatan yang sudah dibukukan itu ternyata uangnya tidak jadi masuk.

Sangat mematikan.

Masih banyak jenis 'lemak' dan 'kolesterol' dalam sebuah laporan keuangan. Sumber-sumber penyakit itu kadang tidak terlihat. Manakala justru manajemenlah yang menghendaki dimasukkannya lemak-lemak itu. Dan kolesterol-kolesterol itu.

Maafkan, seperti kuliah akuntansi tingkat TK.


Seragam Baru

Sebelumnya

Merdeka Huey

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway