Susilo Bambang Yudhoyono
Mantan Presiden RI
BAGI yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.
Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara.
Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi.
Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam.
Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan.
Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.
Sementara gejolak sosial gobal di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh.
Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum "non-state actors" yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada.
Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain.
Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?
Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia.
Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para "world leaders" itu "do nothing". Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do something".
Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak.
Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar.
Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu.
Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.
Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional.
Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya.
Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancan, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya.
Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya.
Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari.
Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk "to say something".
KOMENTAR ANDA