post image
KOMENTAR

Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain.

Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif "rukun".

Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEAN-pun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu.

Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim. Silahkan ditelaah sendiri.

Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini.

Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang.

Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia.

Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah.

Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah "kesepakatan besar" (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada "take and give" diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing.

Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir "out of the box", misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan.

Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi "game changer". Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan.

Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

Cikeas, 6 Januari 2020


Kini Garuda Indonesia Dipimpin Wamildan Tsani

Sebelumnya

Prediksi Airbus: Asia-Pasifik Butuh 19.500 Pesawat Baru Tahun 2043

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel AviaNews