Ketika hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok masih putus saya sudah mendatangkan grup akrobat dari Wuhan. Sampai panitianya diinterogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di Surabaya.
Tapi kali ini saya ikut marah dengan apa yang terjadi di Wuhan. Seraya ikut bangga pada dokter Li Wenliang. Yang meninggal dunia Jumat lalu.
Kalau saja suara dokter itu didengar tidak akan sampai menjadi fatal seperti ini. Khususnya di Wuhan.
Dokter Li memang tergabung dalam anggota grup WeChat. Anggota grup WeChat itu terbatas para dokter di rumah sakit Palang Merah Wuhan.
Tanggal 30 Desember 2019 lalu dokter Li memposting informasi di grup itu. Tujuannya: agar rekan-rekan sesama dokter menaruh perhatian akan adanya virus yang sangat bahaya itu.
Rupanya ada yang meng-capture postingan dokter Li. Lalu hasil capture itu beredar di online. Menyebar luas. Heboh.
Keesokan harinya kepala rumah sakit memanggilnya. Dokter Li dianggap menjadi sumber keresahan umum.
Dua hari kemudian dokter Li dipanggil polisi. Diinterogasi. Lalu diberi surat peringatan.
Dokter Li sendiri sebenarnya sudah mencabut postingannya itu. Tapi capture-nya sudah beredar luas. Dipanggil polisi adalah menakutkan.
Dokter-dokter lain pun menjadi ragu-ragu untuk bekerja. Apalagi mengambil tindakan. Sebagian marah karena merasa solider pada sejawat.
Suasana menakutkan itulah yang membuat penanganan awal wabah ini tidak maksimal. Pemda setempat pun merasa sudah cukup ketika sudah menutup pasar ikan yang bercampur pasar binatang liar itu.
Bunyi postingan dokter Li memang menakutkan --untuk ukuran saat itu. Isinya: "Ditemukan tujuh orang terkena virus SARS dari pasar induk Huanan," tulis dokter Li.
Mungkin kata SARS itulah yang menakutkan. Masak ada SARS lagi. Dan dokter Li pun dianggap menyebarkan ketakutan umum.
"Dari mana Anda tahu kalau itu virus SARS," tegur kepala rumah sakit tersebut.
Dari pemakaian istilah SARS itulah bisa saja dokter Li dianggap ceroboh. Tapi bisa juga dianggap penuh kewaspadaan.
Yang ditemukan di tujuh orang tersebut sama dengan tanda-tanda wabah SARS 18 tahun lalu. Ketika dokter Li baru berumur 16 tahun.
Padahal --mungkin beginilah jalan pikiran kepala rumah sakit-- wabah SARS sudah dinyatakan padam. Kewaspadaan dokter Li justru mendapat respons represif dari atasan. Lebih represif lagi oleh polisi.
Memang akhirnya dipastikan itu bukan SARS. Tapi sungguh setara dengan SARS. Kalau pun hampir sama dengan flu tapi lebih berat dari flu.
Dokter Li baru berumur 34 tahun saat meninggal. Anaknya satu, laki-laki, berumur lima tahun. Istri dokter Li lagi menginginkan anak kedua. Yang sekarang memang sudah diijinkan di Tiongkok.
Sehari-hari dokter Li bertugas sebagai ophthalmologist di Wuhan Central Hospital.
Ia perlu memposting bahaya virus tersebut bukan untuk membuat heboh. Ia ingin teman-teman sejawatnya waspada. Itu lantaran rumah sakit tempat teman-teman satu grup WeChat itu berdekatan dengan pasar Huanan.
Saat dokter Li dipanggil polisi itu yang terjangkit virus sudah bertambah. Sudah 27 orang. Bertambah 20 orang. Hanya dalam dua hari.
Pasar Huanan sendiri baru ditutup 24 hari kemudian. Yakni tanggal 22 Januari. Berarti 24 hari setelah dokter Li memposting peringatan untuk teman-teman sejawatnya itu.
Berarti pula saat pasar itu ditutup sudah ribuan orang yang sebenarnya sudah tertular.
Mereka lantas menyebar ke mana-mana. Terutama karena tiga hari kemudian datanglah tahun baru Imlek.
KOMENTAR ANDA