Seperti yang diketahui, proses pembuatan pesawat terbang adalah proses yang sangat panjang. Bukan proses tiba-tiba. Begitu juga dengan N-219 Nurtanio. Meski baru uji perdana pada tahun 2017, tapi prosesnya sudah berjalan jauh sebelumnya.
Pesawat N-219 Nurtanio sendiri diawali pada tahun 2003 ketika PT DI mengungkapkan rencana pengembangan pesawat kapasitas 19 penumpang dan membuka kerjasama dengan banyak negara.
Proyek ini bisa dilaksanakan 3 tahun berikutnya, 2006, setelah ditanda tangani kerjasama antara Qatar-Indonesia dalam Joint Investment Fund dengan nilai investasi sebesar 65 juta dolar AS. Pada Agustus 2016, Airbus Defence and Space menyatakan komitmen untuk memberikan bantuan dalam pencapaian sertifikasi N-219.
Prototipe pertama N-219 sendiri selesai pada 2017 dan ujicoba perdana dilaksanakan pada tahun sama di Bandara Husein Sastranegara. Durasi percobaan dari lepas landas hingga pesawat mendarat kembali adalah 26 menit.
Pesawat komersil yang bisa menampung 19 penumpang yang sangat cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini, waktu itu ditargetkan mulai produksi sekitar akhir tahun 2019.
Bila kita melihat peluncuran pesawat N-219, mestinya kita tidak aneh dan kaget mendengar berita peluncuran R80. Sebuah pesawat rancangan PT RAI yang mempunyai kapasitas penumpang lebih banyak dan spesifikasi lebih tinggi dibanding N-219.
Kita seperti melihat adanya kesinambungan tidak terputus dari N-219 ke R80. Meski mungkin keduanya datang dari dua perusahaan yang berbeda. Bila dilihat dari urutan waktu, maka ketika ide N-219 dikeluarkan, ide R80 belum muncul. Namun ketika N-219 sudah melakukan uji coba terbang perdana pada tahun 2017, di tahun yang sama rancangan R80 sudah dikeluarkan.
Bila R80 adalah pesawat gagasan Habibie, maka sebetulnya kebangkitan PT DI sebagai simbol industri pesawat terbang nasional pun pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin Habibie.
Budi Santoso, Direktur Utama PT DI pasca pailit serta orang yang mula pertama menggagas ide N-219 Nurtanio, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari sosok Habibie itu sendiri. Sebelum memimpin PT Pindad, Budi Santoso adalah orang yang pernah menjadi bawahan Habibie ketika PT DI bernama PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).
Sebagaimana diungkap Budi Santoso dalam interview dengan sebuah TV nasional, ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ingin menghidupkan kembali industri pesawat terbang nasional dan meminta saran Habibie perihal orang yang dianggap bisa mengangkat kembali PT DI, nama Budi Santoso lah yang disebut Habibie.
Lalu bila kita melihat perkembangan PT DI pasca pailit, Habibie sepertinya memang tidak keliru mempromosikan anak buahnya untuk membangkitkan PT DI.
Presiden ketiga Indonesia itu sepertinya bukan hanya bisa mengeluarkan sebuah rancangan pesawat yang canggih, tetapi juga sudah mendidik banyak orang untuk membangkitkan kembali industri pesawat yang sempat terpuruk pasca krisis moneter 98.
Delianur
<i>Pemerhati kemasyarakatan dan masalah kedirgantaraan, tinggal di Bandung</i>
KOMENTAR ANDA