Veeramalla Anjaiah, Jurnalis Senior
HARI ini tanggal 12 Juli. Tepat enam tahun yang lalu, Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag mengumumkan putusan dalam kasus arbitrase antara Filipina dengan China atas Laut China Selatan (LCS), yang membatalkan klaim ekspansif China di perairan yang disengketakan dan memberikan jawaban atas banyak pertanyaan.
Pada tahun 2012, China yang agresif merebut Scarborough Shoal, yang memaksa Filipina untuk pergi ke PCA pada tahun 2013 untuk menantang klaim China, berdasarkan peta Sembilan Garis Putusnya yang kontroversial, bahwa China memiliki lebih dari 90 persen LCS. China menambahkan garis putus lain pada tahun 2013 ke dalam peta untuk mencakup Taiwan.
Scarborough Shoal diklaim oleh China, Filipina dan Taiwan.
Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), semua negara pantai berhak atas 200 mil laut zona ekonomi eksklusif (ZEE), hak landas kontinen dan laut teritorial seluas 12 mil laut. China dan semua penuntut LCS, kecuali Taiwan, menandatangani dan meratifikasi UNCLOS. Namun, klaim China di LCS tidak sesuai dengan UNCLOS.
Apa yang dikatakan PCA dalam putusannya?
“Putusan 2016 yang sangat dinanti-nantikan itu membahas tiga masalah utama. Pertama, aturan tersebut menemukan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak historis atas sumber daya dalam apa yang disebut sebagai ‘sembilan garis putusnya’. Kedua, pengadilan menemukan bahwa formasi tanah tertentu yang dimodifikasi oleh China melalui reklamasi dan konstruksi tanah tidak menghasilkan hak maritim baru untuk China. Ketiga, Pengadilan memutuskan bahwa China telah ‘melanggar hak kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusifnya’ dengan mengganggu perikanan dan eksplorasi minyak bumi, membangun pulau buatan dan gagal mencegah nelayan China menangkap ikan di zona tersebut," tulis Paco Aguiling Pangalangan, direktur eksekutif wadah pemikir Stratbase ADR Institute, baru-baru ini di Philstar.com.
PCA juga sepakat dengan Filipina bahwa Johnson Reef, Cuarteron Reef dan Fiery Cross Reef adalah bebatuan. Hughes Reef dan Mischief Reef sering tenggelam saat air pasang, sehingga tidak menghasilkan hak maritim. Second Thomas Shoal dan Reed Bank juga tenggelam dan termasuk dalam landas kontinen Filipina, dengan demikian menyangkal hak China atas wilayah tersebut.
PCA menyatakan bahwa Scarborough Shoal harus tetap terbuka sebagai tempat penangkapan ikan tradisional bagi mereka yang telah lama mengandalkannya.
Arbitrase pengadilan tersebut diboikot oleh China, meskipun putusan itu sah, final dan mengikat. Meskipun PCA bukanlah pengadilan ataupun badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengadilan arbitrase dibentuk berdasarkan UNCLOS.
Sebagai penandatangan UNCLOS, China memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan PCA dan mengikuti semua aturan maritim yang disebutkan dalam UNCLOS. Sayangnya, China yang suka berperang menolak untuk mematuhinya bahkan setelah enam tahun.
“Putusan Arbitrase bukanlah putusan PCA. Itu adalah keputusan UNCLOS. China memiliki hak untuk tidak berpartisipasi dalam proses tersebut. Bahkan tanpa partisipasi China, Pengadilan mempertimbangkan posisi dan klaim China, serta memastikan bahwa klaim Filipina berdasarkan fakta dan hukum. Di sisi lain, China memiliki kewajiban untuk menerima putusan final dan mengikat tersebut. Di bawah UNCLOS, non-partisipasi China diperbolehkan, tetapi non-penerimaan tidak,” tulis Tetsuo Katoni, seorang sarjana Jepang, dalam sebuah artikel berjudul “The South China Sea Arbitration: No, It's Not a PCA Ruling” di situs Maritime Issues.
Di sisi lain, China menyebut putusan itu sebagai "ilegal" dan "tidak valid".
“Posisi China konsisten, jelas dan tegas. Arbitrase Laut China Selatan dan putusannya adalah ilegal dan tidak sah. China tidak menerima ataupun berpartisipasi dalam arbitrase, juga tidak menerima atau mengakui apa yang disebut dalam putusan itu,” kata Kedutaan Besar China di Manila dalam sebuah pernyataan, yang diterbitkan oleh situs web ABS-CBN News.
Baik China maupun Filipina adalah pihak atau penandatangan PCA dan UNCLOS. Bagaimana bisa ilegal? Putusan PCA sah secara hukum.
Putusan PCA menginspirasi banyak negara seperti Vietnam, Indonesia, Malaysia untuk menuntut China menghormati UNCLOS 1982. AS, Jepang, Uni Eropa, India, Australia, Kanada dan banyak negara lainnya telah menyerukan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka berdasarkan aturan hukum.
Di Filipina, presiden saat itu Rodrigo Duterte membawa nama buruk bagi negaranya dengan mengesampingkan putusan PCA dan mengadopsi kebijakan luar negeri pro-China untuk mendapatkan miliaran dolar investasi dan pinjaman.
Beijing memberinya pelajaran yang bagus kepada Duterta dan menyusup ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina serta mengganggu nelayan Filipina di Laut Barat (Filipina menyebut LCS sebagai Laut Barat). Investasi yang dijanjikan China jauh dari harapan Manila.
Apa selanjutnya?
Karena kurangnya bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa LCS miliknya berdasarkan sembilan atau 10 garis putusnya, China telah menjadi sasaran empuk kritik dari sebagian besar negara-negara di dunia. Meski begitu, China yang ngotot dan agresif tidak mau menyerah.
China ingin memecah ASEAN melalui kuasanya dan merayu negara lain dengan menawarkan keuntungan ekonomi. Namun semua penuntut LCS di ASEAN dan Indonesia, yang bukan negara penuntut, ingin tetap bersatu dan menyerukan tatanan maritim berbasis aturan di LCS. Negara-negara anggota ASEAN saat ini sedang merundingkan Kode Etik (COC) yang mengikat secara hukum dengan China.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi telah meningkatkan serangan diplomatiknya pada bulan Juli 2022 dengan bertemu dengan sembilan menteri luar negeri ASEAN serta Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dalam waktu kurang dari dua minggu. Misi utamanya adalah untuk memastikan bahwa sengketa LCS tidak merusak hubungan antara China dengan negara-negara ASEAN.
Pada tanggal 4 Juli, Wang telah hadir Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri Kerjasama Lancang-Mekong (LCM) di Bagan, Myanmar. Pertemuan ini di hadiri oleh Menlu Myanmar U Wunna Maung Lwin, Wakil Perdana Menteri dan Menlu Laos Saleumxay Kommasith, Wakil Perdana Menteri dan Menlu Kamboja Prak Sokhonn, Wakil Perdana Menteri dan Menlu Thailand Don Pramudwinai, dan Menlu Vietnam Bui Thanh Son.
Selama berada di Bagan pada tanggal 4 Juli, Wang mengadakan pertemuan bilateral dengan para menlu dari Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Myanmar, Laos dan Kamboja adalah sekutu China sementara negara Vietnam tidak.
KOMENTAR ANDA