post image
Dari kiri ke kanan: Presiden China Xi Jinping, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, dan Presiden AS Donald Trump
KOMENTAR

Kata kunci akselerasi dari Prabowo-Gibran di atas berarti target NDC 2035 mustinya lebih tinggi atau lebih ambisius dibandingkan target NDC sebelumnya. Dalam target NDC 2030, negeri kita mematok pemotongan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan ikhtiar mandiri, dan 41 persen dengan sokongan luar negeri.

Target ini lalu diperbarui di tahun 2022, dengan plot 31,89 persen dengan usaha sendiri serta 43,20 persen dengan bantuan internasional. Plot target pemotongan emisi karbon Indonesia terbilang moderat, kalau bukan tidak ambisius. Pemerintahan Joko Widodo, pendahulu Prabowo, juga menargetkan nol emisi baru di tahun 2060--alias sepuluh tahun lebih lambat dibandingkan banyak negara yang memasang target nol emisi di tahun 2050.

Mencermati dokumen visi, misi dan program Prabowo-Gibran, nyaris tak ada yang ambisius menyangkut transisi ke energi bersih. Swasembada energi diletakkan dalam kerangka ketahanan energi nasional atau domestik, dan tidak diletakkan dalam upaya bahu-membahu menjawab krisis iklim. Padahal, sekalipun industrialisasi yang tamak energi fosil belum mencapai puncaknya di negeri khatulistiwa ini, Indonesia nangkring di sepuluh besar negara penyumbang emisi karbon terbesar dunia.

Ini seharusnya menggoda atau bahkan menghasut pemerintahan Prabowo untuk lebih serius merespons krisis iklim. Itulah call tertinggi, sebuah panggilan yang sangat ditentukan oleh arah angin geopolitik serta komitmen para pembantu presiden di Kabinet Merah Putih.

Akhir Januari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyatakan, Indonesia dalam posisi dilematis untuk mengikuti genderang Perjanjian Paris 2015. "Engkau (AS) yang memulai, engkau (AS) juga yang mengakhiri," ucap Bahlil (Antara, 30 Januari 2025). Ini dikatakan Bahlil sepuluh hari selepas pidato Trump saat dilantik menjadi presiden AS periode kedua. AS bagaimana pun adalah negara berpengaruh, tapi seharusnya tidak menjadi faktor determinan yang mengubah komitmen iklim global.

Bahlil bahkan cemas, karena menurutnya, "baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut." Kecemasan yang beralasan, tapi tak pantas merontokkan nyali Indonesia untuk tersungkur dan menyerah dalam perlombaan berpindah secara lebih signifikan ke energi terbarukan.

Dalam skenario target NDC 2035, Inggris telah memberi contoh baik. Juga masih ada China yang kokoh mengikatkan diri pada Perjanjian Paris 2015. Prabowo Subianto sudah sepantasnya mengarahkan biduk Indonesia ke fase pemangkasan emisi karbon lebih tinggi dibandingkan yang sudah-sudah.

Di dalam dokumen visi, misi dan programnya, Prabowo menyebut produk domestik bruto (PDB) tahun 2022 yang menembus US$1,4 triliun serta pertumbuhan ekonomi di masa Jokowi yang sebesar 5 persen sebagai acuan. Apakah data-data ini ditambah target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, akan membelenggu Prabowo sehingga tidak pro-iklim? Terlebih dalam dokumen tadi, Prabowo menegaskan akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power). Saya kira ini semacam harapan dan tekad, bukan bualan di siang bolong.


Prabowonomics vs. Dengism: Catatan Atas Kuliah Raymond Thomas Dalio

Sebelumnya

Vietnam: Mitra Penting Indonesia dan Anggota Aktif ASEAN

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Politics