FENOMENA mudik di Indonesia merupakan bagian integral dari mobilitas sosial dan budaya nasional. Namun, tingginya harga tiket pesawat, khususnya menjelang musim mudik, menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam sistem transportasi udara nasional.
Tulisan ini mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif teori transportasi internasional dan ekonomi politik transportasi. Penulis mengusulkan urgensi pendirian kembali maskapai penerbangan nasional sebagai instrumen pelayanan publik dan stabilisasi pasar.
Pendahuluan
Seperti dipahami bersama bahwasanya Mudik merupakan kegiatan migrasi temporer yang sangat khas di Indonesia, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mobilitas massal ini menimbulkan lonjakan permintaan terhadap moda transportasi, khususnya penerbangan.
Namun, setiap tahun publik dihadapkan pada masalah klasik: tingginya harga tiket pesawat yang tidak proporsional dengan daya beli masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai fungsi sosial transportasi udara dalam negara kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia. Pertanyaannya adalah: Apakah transportasi udara harus tunduk sepenuhnya pada mekanisme pasar? Ataukah negara harus hadir untuk menjamin keterjangkauan akses udara bagi warganya?
Tinjauan Teori: Transportasi dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial
Dalam teori ekonomi transportasi internasional, sektor transportasi dipandang sebagai infrastruktur dasar yang memiliki eksternalitas positif tinggi terhadap perekonomian, integrasi nasional, dan pemerataan pembangunan.1 Button (2010) menegaskan bahwa intervensi pemerintah seringkali diperlukan dalam sektor transportasi untuk menghindari monopoli, memastikan efisiensi alokatif, serta menjamin hak publik atas mobilitas.2
Lebih lanjut, teori public service obligation (PSO) mengakui bahwa tidak semua rute dan layanan transportasi dapat dijalankan berdasarkan logika komersial semata. Negara berkewajiban memastikan layanan minimum pada sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.3
Dalam konteks negara kepulauan yang sangat luas serta banyak kawasan pegunungan seperti Indonesia, teori transportasi udara juga harus mempertimbangkan keterhubungan antarpulau sebagai prasyarat dasar pembangunan nasional. Tanpa sistem transportasi udara yang efisien dan terjangkau, ketimpangan regional akan terus terjadi, dan konektivitas nasional menjadi rapuh.4
Hal ini pada akhirnya akan mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.
Faktor Penyebab Tingginya Harga Tiket Pesawat di Indonesia
Berdasarkan berbagai studi dan data empirik, terdapat sejumlah faktor utama yang menyebabkan harga tiket pesawat domestik di Indonesia relatif mahal:
1. Harga Avtur Tertinggi di Kawasan
Studi oleh Kementerian Perhubungan RI dan INACA menunjukkan bahwa harga avtur di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia, disebabkan oleh monopoli distribusi dan tidak adanya insentif fiskal.5
2. Kurs Dolar AS yang Fluktuatif
Maskapai nasional memperoleh pendapatan dalam rupiah, namun 60–80% dari biaya operasionalnya berbasis dolar, seperti sewa pesawat, pembelian suku cadang, dan pelatihan awak.6
3. Pajak dan Bea Masuk atas Suku Cadang
Pemerintah masih memberlakukan pajak impor suku cadang pesawat, padahal sektor ini bersifat strategis dan menyangkut keselamatan publik.7
4. Keterbatasan Fasilitas Pemeliharaan (MRO)
Banyak maskapai harus mengirim armadanya ke luar negeri untuk perawatan rutin karena minimnya fasilitas dan tenaga ahli dalam negeri, yang menambah biaya dan waktu henti operasional.8
5. Minimnya Maskapai Milik Negara
Setelah Garuda Indonesia mengalami krisis keuangan, Indonesia praktis tidak lagi memiliki maskapai nasional yang berfungsi sebagai pengendali harga atau penyedia layanan publik.
Kritik Membangun terhadap Kebijakan Negara: Absennya Negara sebagai Aktor Strategis
Dalam ekonomi pasar, negara memang dapat menyerahkan layanan publik kepada swasta. Namun, untuk sektor transportasi, pendekatan ini terbukti tidak efektif di Indonesia. Ketika seluruh maskapai bekerja dengan logika komersial, maka masyarakat menjadi korban saat harga tiket melambung tinggi karena permintaan naik. Negara tidak memiliki alat intervensi selain imbauan moral atau regulasi harga yang seringkali kontraproduktif dengan iklim usaha dan pasti tidak akan berkelanjutan.9
Seharusnya, negara tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga aktor dalam ekosistem transportasi udara, baik sebagai penyedia layanan melalui BUMN, maupun sebagai fasilitator ekosistem aviasi nasional—dari penyediaan avtur, perawatan pesawat, hingga pelatihan SDM. Kedepannya bahkan negara sudah harus memikirkan tentang Industri penerbangan dalam perpektif membangun pabrik pesawat terbang.
Rekomendasi: Negara Perlu Punya Maskapai Penerbangan Sendiri
Melihat struktur permintaan yang besar di rute-rute domestik utama serta rute haji dan umrah yang sangat menguntungkan, sebenarnya terdapat model bisnis berkelanjutan yang selalu tersedia bagi maskapai milik negara. Negara tidak perlu membangun dari nol, tetapi cukup mengambilalih atau menyuntik modal pada sebuah maskapai baru milik negara atau melanjutkan yang telah ada dengan mandat pelayanan publik.
Maskapai ini dapat beroperasi dengan model campuran: separuh rute berorientasi komersial (Jakarta–Surabaya, Jakarta–Makassar, Jakarta–Jeddah) dan separuh berbasis PSO (rute ke daerah 3T). Dengan tata kelola yang transparan, efisien, dan profesional, maskapai ini bisa menjadi penyeimbang pasar dan simbol kehadiran negara sekaligus berperan sebagai alat pemersatu bangsa.
Kesimpulan
KOMENTAR ANDA