Chappy Hakim, Mantan KSAU, Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)
BELAKANGAN ini sudah banyak terdengar tentang gagasan PTDI yang akan memproduksi pesawat terbang N-219. Pesawat yang pasti akan diarahkan sebagai paket produk unggulan yang akan lebih mudah menembus pasar dengan beberapa kelebihan yang dimilikinya.
N-219 sebenarnya adalah jawaban yang tepat bagi pengembangan transportasi udara di Indonesia sebagai sebuah negara luas berbentuk kepulauan dan banyak kawasan bergunung-gunung.
N-219 adalah “aircraft of choice” bagi pengembangan realistis perhubungan udara di Indonesia yang infrastruktur penerbangannya masih banyak berujud pangkalan-pangkalan udara dengan ukuran landasan pendek dan terletak di lokasi terpencil.
Singkat kata pesawat terbang N-219 adalah pesawat yang sangat ideal untuk dapat mengembangkan sistem perhubungan udara Nusantara dengan jenjang yang masuk akal.
Sayangnya, perjalanan N-219, sejak berupa gagasan di tahun 2003 hingga sekarang ini mengundang banyak pertanyaan yang tidak terjawab.
Walaupun dalam beberapa tahun terakhir sudah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, antara lain terbang perdana di bulan Agustus tahun 2017 yang sukses.
Berikutnya pada menjelang akhir tahun yang sama, dihari Pahlawan 10 Nopember 2017 Presiden Jokowi meresmikan produk N-219 dengan memberi nama “Nurtanio” untuk menghormati sang perintis pembuat pesawat terbang di tanah air.
Demikian pula konon dalam Air Show di Singapura tahun 2018, PTDI telah mengumumkan tentang banjir pesanan sejumlah 75 pesawat N-219 dari berbagai pihak swasta di tanah air dan beberapa pemerintah daerah.
Hingga hari ini, kabar dari perkembangan berikutnya dari N-219 seolah menguap. Tidak terdengar lagi pemberitaan tentang kemajuan yang diharapkan dari proses produksi pesawat terbang N-219 kebanggaan kita semua.
Terhambatnya proses setifikasi terdengar sayup-sayup sebagai faktor utama dari mandeknya proyek yang sangat prestisius ini. Tidak begitu jelas apa yang telah terjadi dengan mandeknya proses produksi N-219, karena penjelasan resmi dari pihak yang berkompeten dalam hal ini tidak juga kunjung muncul.
Disadari bahwa memang tidak mudah untuk menjalankan sebuah proyek besar seperti dalam proses memproduksi pesawat terbang dengan sukses. Di samping teknologi modern menuntut banyak bidang keahlian yang dinamis sifatnya sesuai dengan laju kemajuan teknologi itu sendiri, proses produksi pesawat terbang memerlukan keterpaduan dalam pengelolaannya.
Proses produksi pesawat terbang tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa memikirkan upaya pemasaran serta dukungan pasca produksi yang tidak sederhana.
Di sisi lainnya pabrik pesawat terbang harus memiliki “produk unggulan” terlebih dahulu yang menjadi “Bread and Butter” atau “main income”, untuk kelangsungan hidupnya agar mekanisme kerja dari Pabrik dapat secara bertahap mengurangi subsidi pemerintah dan atau ketergantungan dari dukungan pihak investor.
Berbicara tentang “produk unggulan”, sebenarnya PTDI telah memulai dengan langkah “luar biasa” yaitu dikala meluncurkan pesawat terbang CN-235.
Ketika itu satu Skadron CN-235 masuk dalam jajaran Angkatan Udara Republik Indonesia dan sejumlah lainnya melengkapi armada penerbangan sipil komersial di PT MNA, Merpati Nusantara Airlines. MNA adalah Maskapai Penerbangan yang melayani rute penerbangan perintis, mencakup jalur penerbangan menghubungi lokasi di remote area dan terisolasi ditengah kawasan pegunungan.
Langkah penggunaan pesawat terbang produksi dalam negeri yang langsung digunakan oleh Angkatan Udara dan pihak Penerbangan sipil komersialnya tidak ayal telah menjadi sebuah tonggak promosi yang sangat ampuh.
Terbukti, menyusul di tahap produksi awal, berdatanganlah pesanan dari berbagai negara, terutama di kawasan Asia pasifik untuk pesawat terbang CN-235 baik versi militer maupun untuk keperluan sipil.
Setidaknya Korea Selatan dan Malaysia telah menggunakan CN-235 bagi keperluan palayanan penerbangan VIP di negerinya. CN-235 benar-benar telah tampil sebagai sebuah langkah spektakuler dalam pilihan jenis pesawat terbang yang berpotensi merajai pasar kebutuhan di kawasan sekali gus memposisikannya sebagai produk unggulan PTDI.
Keberhasilan produk unggulan CN-235 dalam meraup pasar dalam dan luar negeri tidak berlangsung lama. Sebagai akibat PTDI yang mulai mengembangkan produk lainnya antara lain N-250 telah menyebabkan CN-235 menjadi terbengkalai.
Kapasitas dari sarana yang dimiliki PTDI sebagai sebuah Pabrik Pesawat Terbang, lebih-lebih ketersediaan SDM yang masih terbatas membuat konsentrasi PTDI bagi kelangsungan produk CN-235 menjadi terganggu.
Ditambah beberapa faktor eksternal antara lain krisis ekonomi 98 maka perjalanan CN-235 menuju sukses tidak hanya terhenti , bahkan pesawat terbang CN-235 seolah diantar menuju ke peristirahatannya yang terakhir.
Skuadron CN-235 di Angkatan Udara bubar jalan dan CN-235 di MNA tidak hanya berhenti terbang, bahkan MNA nya sendiri bergulir masuk ke wilayah “insolvency” alias “bangkrut” dan lenyap dari permukaan hingga sekarang.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kesemua itu adalah, proses produksi pesawat terbang buatan dalam negeri seyogyanya benar-benar mempertimbangkan banyak hal dengan cermat. Pilihan terhadap produk unggulan pada N-219 dan atau CN-235, kiranya sudah tepat.
KOMENTAR ANDA